HUKUM ISTRI MEMFASAKH PERNIKAHAN KARNA SUAMI IMPOTEN



HUKUM  ISTRI MEMFASAKH PERNIKAHAN  KARNA SUAMI IMPOTEN

              I.     PENDAHULUAN

Dalam kehidupan manusia hanya mengalami tiga fase penting yakni kelahiran, penikahan, dan kematian. Pernikahan merupakan fase penting sebab Allah menghendaki kelestarian hambanya secara turun temurun melalui ikatan yang suci yaitu pernikahan.

Hak dan kewajiban suami istri itu memegang peranan penting dalam suatu rumah tangga, apabila masing-masing pihak tidak dapat saling menjaga dan memeliharanya maka kehancuranlah yang akan menghampiri. Terkadang suami istri mengalami kegagalan dalam mencapai sebuah keharmonisan rumah tangga disebabkan oleh suami istri yang tidak menunaikan kewajibannya. Perkara hak dan kewajiban sering menimbulkan permasalahan ditengah-tengah kehidupan rumah tangga. Seperti suami tiadak sanggup memberi nafkah lahir istrinya, dan istri tidak tabah menghadapinya serta tidak mau memikirkan kekurangan ekonomi akhirnya menimbulkan pertengkaran. Contoh lagi suami mempunyai penyakit impoten, dalam hal ini istri tidak mendapatkan nafkah bathin serta tidak bersabar akan hal ini maka timbulah perpecahan diantara keduanya. Maka bagaimana solusi terbaik yang harus dilakukan seorang istri, sehingga tidak menyalahi syari’at. Islam memberi hak kepada suami berupa talak dan istri diberi hak fasakh, dalam hal ini kita akan bahas lebih detail mengenai fasakh nikah, terutama bagaimana hukum fasakh nikah karna suami impoten.

           II.     PEMBAHASAN

A.  Pengertian fasakh
1)         Definisi fasakh
Secara etimologi fasakh berasal dari masdhar fasakha – faskhul ‘aqdi artinya membatalkan akad, membatalkan persetujuan.[1] kata fasakh berasal dari bahasa arab fasakha-yafsakhu-faskhan yang artinya batal atau rusak,[2] pemisahan (tafriq).[3]
Sedangkan secara terminologi adalah terlepasnya ikatan akad (ibnu subki)[4], atau hilangnya (batalnya) hukum akad dari aslinya[5].
Menurut sayyid sabiq dalam kitab fiqhu sunnah fasakh nikah adalah membatalkan dan melepaskan ikatan tali pernikahan antara suami istri.[6]
Kamal mukhtar (1993:212) mengartikan fasakh dengan ‘mencabut’ atau ‘menghapus’ yang maksudnya ialah perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau istri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami istri dalam mencapai tujuan rumah tangga.[7]
Pendapat hanafiyyah Suami memiliki hak menalak, sedangkan istri memiliki hak fasakh. Dengan demikian, keduanya memiliki hak yang sama dalam upaya menghapus atau mencabut ikatan rumah tangga karena adanya penyebab tertentu yang dibenarkan menurut syari’at islam.

2)         Definisi impoten
 Impotensi berasal dari kata impotent, yang terdiri atas kata im yang berarti tidak dan kata potent yang berarti mampu. Jadi secara bahasa, impoten artinya ketidakmampuan.
Dalam ilmu kesehatan, pengertian impotensi selalu dihubungkan dengan masalah seksual, sehingga impotensi diartikan sebagai ketidakmampuan seorang pria untuk melakukan hubungan seks. Secara spesifik, impotensi adalah ketidakberdayaan seorang pria melakukan hubungan seks melalui alat kelamin.[8]

B.    Dasar hukum fasakh nikah
 Hukum  islam mewajibkan suami untuk menunaikan hak-hak istri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiaya dan menimbulkan kemudharatan terhadapnya. Suami dilarang menyia-nyiakan hak istri dan menjadikan sengsara dalam kehidupan keluarga, Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 231:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا
Artinya: “ dan apabila kamu menceraikan istri-istri kamu, lalu sampai pada akhir iddahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang terbaik pula. Janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk mendzalimi mereka. (qs al-baqarah: 231)
Ini merupakan perintah Allah kepada laki-laki untuk berbuat baik terhadap istri, apabila istri dalam masa iddahnya, dan jika suami ingin merujuk kembali maka hendaknya saksikanlah rujuknya. Namun jika tidak menginginkan untuk kembali lagi dalam ikatan tali pernikahan, hendaklah tunggu masa iddahnya hingga selesai kemudian keluarkan dari rumah dengan cara yang baik, janganlah membuat pertikaian dan perselisihan, serta saling mencaci maki. Larangan keras untuk para suami janganlah menahan para istri dengan maksud untuk menyakiti dan mendzalimi.[9]
Syari’at tidak menghendaki adanya kemudharatan dan melarang saling menimbulkan kemudharatan, sebagaimana dalam hadits disebutkan:
لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Artinya: “tidak ada kemudharatan dan tidak boleh saling menimbulkan kemudharatan”. (HR Malik dan Baihaqi)[10]
Menurut qaidah islam bahwa setiap kemudharatan wajib dihilangkan, sebagaimana kaidah: 

الضَرَارُ يُزَال

Artinya: “mudharat itu dapat dihapus(dihilangkan)[11]
berbagai Bentuk kemudharatan yang terjadi dalam sebuah pernikahan harus bisa dihilangkan, demi tercapainya kemaslahatan dalam hidup berumah tangga tanpa menyelisihi syari’at islam.

C.    Perbedaan fasakh dengan thalak
Perpisahan antara suami dan istri adakalanya  dengan talak atau dengan fasakh[12]
Fasakh berbeda dengan thalak, ulama telah menyebutkan ada banyak perbedaan antara thalak dan fasakh. Diantaranya perkataan imam asy syafi’i dalam kitab al umm:
Imam syafi’i berkata “maksud dari pemutusan hubungan pernikahan (fasakh)” adalah semua pemutusan ikatan suami istri yang tidak disertai talak; baik talak satu, dua atau tiga.
 Ar rabi’ telah mengabarkan kepada kami bahwa imam syafi’i berkata” pemutusan hubungan suami istri itu bermacam-macam, namun semuanya tercakup dalam kata ‘ furqah (pemisahan) ‘. Tapi masing-masing pemutusan hubungan itu memiliki nama sendiri, dan diantaranya adalah talak.”[13]

NO

THALAK

FASAKH

1.

Thalak ialah pembubaran perkawinan dengan lafadz thalak


Fasakh ialah memutuskan pernikahan tanpa menjatuhkan thalak.[14]

2.

Penghentian akad. Kehalalan akad tidak hilang kecuali setelah thalak ba’in.

Pembatalan akad dari asalnya, menghilangkan kehalalan yang menjadi akibat dari akad

3.

Thalak adalah hak mutlak suami


Fasakh adalah pemutusan pernikahan dari pihak suami dan istri.[15]

4.

Thalak mengurangi jumlah thalak


Fasakh tidak mengurangi jumlah thalak.[16] Setelah fasakh lalu akad suami tetep mempunyai kesempatan tiga kali thalak.[17] Dan sekalipun terjadinya fasakh karna khiyar baligh kemudian menikah dengan akad yang baru.

6.


Thalak sebelum bersetubuh mengharuskan separoh mahar yang telah ditentukan


Fasakh sebelum bersetubuh tidak mengharuskan hak mahar sedikitpun untuk wanita (tidak berdampak apapun)[18]

7.

Thalak sampai tiga kali (thalak ba’in) mendapati haram kubro dan tidak bisa halal kecuali dengan perantara muhallil.

Fasakh berkali-kali lalu akad lagi tidak mendapati haram kubro.[19]

8.

Thalak setelah disetubuhi mendapatkan mahar musamma.

Fasakh setelah disetubuhi karna cacat akan berdampak kewajiban mahar mitsli.

9.

Thalak  boleh dilakukan dengan lafadz sharih (jelas) dan kinayah (sindiran), dan ada thalak raj’i (yang dapat ruju’) dan ba’in (thalak tiga)

Pembubaran perkawinan secara fasakh hanya boleh diputuskan oleh hakim dan mahkamah.[20]

10.

Wanita yang dithalak ketika hamil wajib mendapatkan nafkah dan mendapat hak tempat tinggal jika telah disetubuhi.

Fasakh ketika dilakukan dengan akad maka tidak ada hak nafkah untuk pihak wanita meskipun sedang hamil. Dan mendapatkan hak tempat tinggal jika telah disetubuhi.[21]

Perbedaan thalak dengan fasakh, fasakh adalah membatalkan akad, sedangkan thalak tidak sampai membatalkan akad akan tetapi hanya menafikan sebagian atsarnya saja.[22]

D.   Sebab-sebab fasakh nikah
 Dalam hal ini Ulama berbeda pendapat. Diantaranya:
a.     Hanafiyyah berpendapat perpisahan menjadi terfasakh dalam hal-hal berikut ini:[23]
1)        Hakim memisah suami istri karena istri enggan masuk islam. Jika keengganan dari suami menurut abu hanifah dan muhammad adalah thalaq, menurut abu yusuf adalah fasakh.
2)        Murtad
3)        Perbedaan dua negara
4)        Khiyar bulugh
5)        Khiyar memerdekakan budak
6)        Tidak sekufu dan kurangnya mahar

b.                  Malikiyyah berpendapat[24] perpisahan  fasakh dalam hal-hal berikut:
1)        Akad nikah yang tidak sah, seperti menikah dengan mahram.
2)        Terjadi hal yang menyebabkan keharaman selamanya atas pernikahan. Seperti suami berhubungan badan dengan ibu mertua.
3)        Karena li’an, Rosul bersabda:”dua orang yang saling li’an tidak akan berkumpul selamanya”.
4)        Keengganan suami masuk islam setelah istrinya masuk islam.

c.                   Syafi’iyyah berpendapat bahwa sebab fasakh ada tujuh belas macam:
1)        Kesulitan dalam membaya mahar
2)        Kesulitan dalam nafkah
3)        Tidak memberi tempat tinggal dan sudah diberi waktu tiga hari
4)        Karena li’an
5)        Khiyar perempuan yang dimerdekakan
6)        Adanya aib
7)         hubungan badan tidak sengaja
8)        Salah satu dari suami istri ditawan
9)        Masuk islam salah satu diantara keduanya
10)    Murtad
11)    Menikahi dua perempuan bersaudara
12)    Istri lebih dari empat
13)    Dua orang budak perempuan
14)    Menikahi wanita yang masih menjadi milik orang lain
15)    Tidak sekufu
16)    Perpindahan agama seperti dari yahudi ke nasrani
17)    Karena sebab sepersusuan

d.                  Hanabilah mengatakan fasakh terjadi karena:
1)        Khulu’ tidak dengan lafadz thalak
2)        Murtad
3)        Adanya aib yang terdapat pada laki-laki atau perempuan, tidak ada yang bisa memfasakh pernikahannya kecuali hakim
4)        Salah satu dari keduanya masuk islam
5)         alasan ila’ melalui hakim  jika masa ila’ telah selesai yaitu empat bulan. Namun suami tidak menggauli dan tidak juga menthalaknya setelah diperintahkan oleh hakim.
6)        Li’an.

Fasakh terbagi menjadi dua macam yaitu: fasakh yang terjadi secara otomatis atau langsung tanpa melalui hakim, dan fasakh yang dilaksanakan harus melalui hakim.[25]

      i.               Fasakh nikah secara langsung
Bentuk-bentuk fasakh yang terjadi secara langsung diantaranya sebagai berikut:
1.    Fasakh terjadi karena rusaknya akad pernikahan yang diketahui setelah pernikahan berlangsung, seperti pernikahan tanpa saksi dan menikahi mahram.
2.    Fasakh terjadi karena istri dimerdekakan dari status budak, sedangkan suaminya masih berstatus budak.
3.    Fasakh terjadi karena pernikahan yang dilakukan adalah nikah mut’ah.
4.    Fasakh terjadi karena menikahi wanita dalam masa iddah.
Wanita yang sedang menjalani masa iddah baik dari perceraian dengan suaminya atau ditinggal mati, haram menikahinya hingga selesai masa iddahnya. Jika pernikahan itu terjadi, maka pernikahanya harus difasakh.[26]
Hikmah pengharamanya adalah untuk mencegah dari percampuran nasab.
        ii.          Fasakh nikah melalui hakim
Adapun fasakh yang memerlukan campur tangan hakim antara lain sebagai berikut:
1.    Fasakh karena istri merasa tidak  dengan suaminya atau sebaliknya.[27] Kafa’ah artinya sama atau sebanding dalam hal ini da dua pendapat apakah termasuk syarat pernikahan atau tidak. Pendapat pertama: kafa’ah bukan syarat sahnya pernikahan, pendapat ini dipegang oleh ats-tsauri, hasan al-bashri, dan al kurkhi dari madzhab hanafi. Pendapat ke dua: jumhur Fuqaha, termasuk empat madzhab bahwa kafa’ah merupakan syarat dalam lazimnya pernikahan, bukan syarat sahnya.[28]
2.    Fasakh karena mahar tidak dibayar penuh sebagaimana yang dijanjikan.
3.    Fasakh melaui khiyar bulugh.
4.    Fasakh akibat salah satu dari suami istri menderita penyakit gila.
5.    Fasakh terjadi karena istri yang musyrik tidak mau masuk Islam setelah suaminya masuk Islam, sedangkan istri menuntut perceraian dari suaminya.
6.    Fasakh karena salah satu dari keduanya murtad.
7.    Fasakh  terjadi karena li’an
8.    Fasakah  karena adanya cacat, baik pada suami atau istri.[29]

E.    Jenis cacat tubuh sebagai alasan fasakh pernikahan[30]
Ada beberapa cacat yang menyebabkan terjadinya fasakh nikah, para ulama berbeda-beda dalam menetapkan cacat yang memperbolehkan fasakh nikah.diantaranya:
1.    Macam-macam cacat menurut ulama Hanafiyah: gila, kusta atau lepra, sopak atau belang, kemaluan terpotong, imponten, dikebiri, vagina tersumbat daging, faraj tersumbat daging; benjolan yang tumbuh pada kelamin wanita yang mirip denan tanduk domba, khuntsa, tua.
2.    Macam-macam cacat menurut ulama Malikiyah: gila, kusta atau lepra, sopak atau belang, bau mulut atau vagina bau busuk, vagina berbusa, vagina tersumbat daging,  faraj tersumbat tulang, vagina menyatu yaitu menyatunya kedua saluran pembuangan (kencing dan kotoran), dikebiri atau pecah, atau hilang buah dzakarnya.
3.    Macam-macam cacat menurut ulama Syafi’i: gila, kusta atau lepra, sopak atau belsatu ang, imponten, terpotong kemaluannya, vagina tersumbat daging, vagina tersumbat tulang, gila sementara, ayan.
4.    Macam-macam menurut ulama Hanabilah: gila, kusta atau lepra, sopak atau belang vagina tertutup dengan tulang, vagina berbusa, menyatunya kedua saluran, kebiri, kemaluan buntung, bau mulut, lubang vagina disimplin.
Adapun cacat yang dialami oleh laki-laki dan perempuan, antara lain:
a.     Gila
b.    Lepra (al-judzam), yaitu penyakit yang menyebabkan tersebarnya warna hitam diseluruh tubuh, serata merusak corak dan dan bentuk tubuh.
c.     Kusta (al-barash), yaitu warna putih yang nampak pada permukaan tubuh lalu merusak anggota tubuh. Bercak putih itu smakin melebar dari hari ke hari, dan terkadang ditumbuhi oleh bulu yang berwarna putih juga.
Jumhur telah sepakat bahwa penyakit-penyakit ini termasuk aib-aib yang memperbolehkan bagi suami istri untuk menuntut cerai. Bahkan sebagian ulama telah menukil ijma’ sahabat tentang ditetapkannya khiyar fasakh.



F.     Fasakh nikah karena suami impoten

Imponten adalah penyakit yang menyebabkan seorang laki-laki tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya. Menurut Malikiyah karena dzakarnya kecil.[31]
Orang yang tidak mampu menggauli istrinya melalui faraj, walaupun ia bisa menggauli lewat dubur karena alatnya tidak bisa ejakulasi (memancar), maka ini disebut al-innin menurut Syafi’iyah, Hanabilah, dan Zaidiyah.[32]
Jumhur berpendapat bahwa al-innin termasuk cacat yang dapat memberikan hak khiyar atas istri, berdasarkan dalil ijma’ yang diriwayatkan oleh imam al mawardi dan innin juga dapat diqiyaskan dengan al jub, sebab keduanya tidak mampu untuk berjimak.[33]
Pendapat jumhur yang kuat adalah yang mengatakan al-innin menjadikan istri memiliki hak khiyar, karena hal ini dapat menimbulkan madharat bagi si istri.[34] Padahal nabi bersabda,
"لَاضَرَارَ وَلَا ضِرَارَ"
Artinya:”tidak ada kemudharatan dan tidak boleh saling menimbulkan kemudharatan” (HR Malik dan Baihaqi)[35]
Ada tiga cara untuk menetapkan al innin:
1.    Pengakuan serta keterangan dokter
2.    Persaksian
3.    Sumpah istri ketika suami mengingkari dirinya adalah al innin

Ibnu Qudamah berkata, “jika seorang laki-laki menderita imponten, maka itu adalah cacat pada dirinya, dan istri berhak menuntut fasakh nikah setelah menjalani masa tenggang untuk memastikan keadaanya. [36]
Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang tafriq pernikahan karena suami impoten, apakah termasuk thalak atau fasakh?
1.    Ibnu Mas’ud al kasani al Hanafi, berpendapat bahwa perpisahan ini thalak ba’in kubra. Karena keputusan qadhi dapat disandarkan pada suami. Dan perpisahan ini terlaksana setelah pernikahan yang sah. Maka menurut madzhab maliki adalah thalaq.[37]
2.    Syafi’i, Hanbali, Zaidiyah, Imamiyah, perpisahan cacat adalah fasakh. Tidak menjadikan jumlah thalaq berkurang. Suami bisa merujuk kembali dengan pernikahan baru, ada wali, 2 orang saksi yang adil , dan mahar.[38]
Yang rajih yang dipilih oleh dr Muhammad Abdullah Rabbah Muhammad as Sabhi dalam tulisan beliau yang berjudul al aib asy-syakhsi wa atsaruhu fie aqdi an nikah bahwa perpisahankarna cacat pada istri disebut thalak, jika cacat dari suami adalah fasakh.[39]

G.       Hukum istri memfasakh pernikahan karena suami impoten

Jumhur berpendapat bahwa impoten termasuk cacat yang dapat memberikan hak khiyar atas istri. Jika istri ridha maka pernikahan tetap berlanjut. Namun jika istri merasa terdzalimi dan akan menimbulkan mudharat pada istri, maka istri boleh mengajukan gugatan cerai. Mereka berdalil dengan ijma’ shahabah yang diriwayatkan oleh al-Mawardi, dan diqiyaskan dengan ‘al-jub’ sebab kedua-duanya tidak dapat berjima’[40]. Serta Berdasarkan dalil dari:
a)    Al-qur’an:
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَان
 Artinya:“Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (al-Baqarah: 229)
b)    Hadits:
Didalam Sunnan abu Daud diriwayatkan hadits Ikrimah dari Ibnu Abbas, bahwa Abdu Yazid Abu Rukanah menceraikan istrinya, Ummu Rukanah, lalu Abu Rukanah menikah dengan seorang wanita dari Muzainah. Wanita tersebut datang menemui Rosulullah seraya berkata “Abu Rukanah tidak bisa memberikan kepadaku kecuali seperti apa yang diberikan oleh sehelai rambut yang diambil dari ujungnya (laki-laki imponten). Oleh karena itu, pisahkan lah diriku darinya”.[41]  Dan hadits Rosulullah:                                         “ tidak boleh ada bahaya dan menimbulkan bahaya” (HR malik dan baihaqi)
c)    Ijma’:
 Umar bin al Khattab telah memutuskan bahwasanya laki-laki yang imponten diberi janji selama satu tahun, tidak ada yang menyelisihi pendapat ini sehingga dijadikan ijma’ para ulama.[42]
Setelah satu tahun berlalu, dan suami belum juga mampu menggauli istrinya, maka istri melaporkan kedua kalinya kepada qadhi untuk menuntut fasakh. Namun jika dia ridha dan tetap setia dengan suaminya baik telah berlalu selama satu tahun maupun ditengah masa penantian, maka hak khiyar dan fasakhnya gugur.[43]
Keputusan memisahkan antara suami istri karena imponten datang dari Umar bin al Khattab, Ibnu Mas’ud, Mughirah, Ibnu Syu’bah dan juga pendapat Sa’id bin al Musayyib, ‘Atho, Amru bin Dinar, An-Nakha’i, Qatadah, Hamad bin Sulaiman, abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad.[44]

   III.          KESIMPULAN DAN PENUTUP

Hukum istri memfasakh nikah karena suami imponten adalah boleh, berdasarkan dalil dari Al qur’an dan As-Sunnah. dampaknya terhadap mahar, ada dua pendapat:
1.    Tafriq (perpisahan) antara suami istri karena sebab cacat sebelum jima’
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa perpisahan yang terjadi antara suami istri selain karena sebab thalaq yang terjadi sebelum jima’ maka istri tidak mendapatkan mahar.
2.    Furqah (perpisahan) karena cacat setelah jima’
Menurut madzhab hanafiyah, malikiyah, dan syafi’iyah mahar yang diberikan adalah mahar musamma, dengan syarat cacat tersebut muncul setelah jima’. Dan tetep dapet mahar baik sudah jima’ atau belum.[45]
Adapun masa iddahnya diqiyaskan dengan khulu’, yaitu satu bulan atau satu kali haidh, karena pendapat yang rajih khulu’ adalah fasakh bukan thalaq, (dalam kitab fiqhu sunnah).
Tempat tinggal  menurut hanafiyyah istri yang dikhulu’ tidak gugur hak nafkahnya kecuali dengan kerelaan istri ketika akad khulu’.

        IV.     DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim Terjemahan Depertemen Agama R.I. 2006
 Munawwir, Warson, Ahmad, al Munawwir Kamus Arab-Indinesia, Surabaya: pustaka progresif, 1997
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indo, Jakarta: Mahmud Yunus wa Dhuriyyah, 2010
Mundir, Ibnu, Lisanul Arab, Kairo: Dar al Ma'arif, tth, jil. Ke-5
 Ibnu, Nujaim,  al Asybah Wa Nadzair, Damaskus: Dar al Fikri, 1982
Zuhailial, az-,Wahbah, Fiqhul Islami, Damaskus: Darul Fikri. 2007M/1428H, cet. ke-10. jil 4
Sabiq, Sayyid, Fiqhu Sunnah,Beirut: Dar al-Fikri, 1992, jil. 2
Abdullah, Boedi, dkk, Perceraian Dan Perkawinan Keluarga Muslim, Bandung: Pustaka Setia Bandung, 2013
Pengertian-Impotensi.html, http://www.referensimakalah.com diakses pada tanggal 1 april 2016
Dimasyqi, ad-, Al jalilul Hafidz Imaddudin abi al Fida’ Isma’il ibnu Katsir, Tafsir al Qur’anul Adzim,          Kairo: Maktabah Auladusy Syaikh lit Turats, 2000 M-1421H, cet.ke-1, jil 2
Anas, Malik bin, Al-Muwatha’, no 2758, ttp: Muassasah Zayid, 2004, jil. Ke-4
Zuhaili,Az-Wahbah  Al-Wajiz Fi Idhoh Qawaid, (Riyadh: Muassasah ar Risalah, 1983) hlm 81
Al mausu’ah Al Fiqhiyah, Kuwait: Asy-Syu'un al Islamiyah: 1983M/1404H. Cet.ke-2,  jil 32
Syafi'i, Asy-, Muhammad bin Idris,  Al-Umm,  Al-manshurah: darul Wafa' 2001M/1422H, cet.ke-1, juz. 6
 Muhammad Syato ad Dimyathi, Hasyiyah I’anatu Ath Thalibin, ttp: Dar al Kutub al Islamiyah, 2009
Hanafi,al-, 'Aluddin Abi Bakr bin Mas'ud al-Kasani, Bada'i Ash-Shana'i, Beirut-Lebanon: Dar-al-Kutub Al-Ilmiyah, 1986M/1406H, cet.ke-2,  jil 2
Qurthubi,al-,Abi Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Dar-al-Ma'rifah, 1982M/1402H, cet.ke-6, jil 2
Dauyan,bin,Muhammad bin Salim, Manaru as Sabil fi Syarhi ad Dalil, Iskandariyah: Dar al Aqidah, 2007 jil. 2
Dimsyiqi,ad-,Muhammad bin husain Hasani, kifayatu al akhyar, ttp: Dar al-Kutub al Islamiyyah,2004, jil. 2
Syarbini, Asy-,Syamsuddin Muhammad bin Al-Khatib, Mugni al-Muhtaj,  Beirut-Lebanon: Dar al Ma'rifah, 1997M/1418H, cet.ke-1, juz.3
Dardir, Ad-,Abi Al-Barakat Sayyidi Ahmad, Hasyiyah ad Dasuqi 'Ala Syarhul Kabir, t.c, t.tp, t.p, t.t. jil. 2
syafi’i, Asy-,Muhammad bin Umar al Bujairimi, Hasyiyah al Bujairimin ala Syarhi al Khalib, Libanon: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1996, jil. 4
Husaini, al,Mufadal bin Mansur, al Bahru az Zakhar, Beirut: muassasah ar risalah, an Sharu Sunnah al Muhammadiyah, 840, jil. 3
Yazid, bin,Muhammad, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al Fikri, 2010, jil. 2
Qudamah, Ibnu, al Mughni, Lebanon: Dar kutub al Ilmiyah 2008, cet.ke-1,  jil.7
Sabhi,Muhammad Abdullah Rabbah Muhammad, 2013, Al Aib Asy-Syakhsi wa Atsaruhu fie Aqdi an nikah, tonto
Husaini,al-,Mufadhal bin Manshur, al Bahru az-Zakhar, Beirut: Ansaru as-Sunnah al Muhammadiyah, muassasah ar Risalah, 840 H, Jil.3
Qoyyim, al-,Ibnu, Zaadul Ma’ad, ttp Muassasah Zayid, 2004,  jil.4
Hanif, Asadullah Muhammad, Fiqhu Utsman bin Affan fi al Usrah, Saudi: Ummul Qura, 1994







[1]Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indinesia, (Surabaya: pustaka progresif, 1997) hlm 1055
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indo, ( Jakarta: Mahmud Yunus wa Dhuriyyah, 2010) hlm 316
[3] Ibnu Mundir, Lisanul Arab, (Kairo: Dar al Ma'arif, tth), jil ke 5, hlm 3412
[4] Ibnu Nujaim, Al Asybah Wa Nadzair, (Damaskus: Dar al Fikri, 1982), hlm 338
[5] Wahbah az Zuhailial, Fiqhu al Islami, (Damaskus: Darul FIkri, 2007M/1428H), cet-10, jil 4, hlm 3153
[6] Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikri, 1992), jil 2, hal 202
[7] Boedi Abdullah dkk, Perceraian Dan Perkawinan Keluarga Muslim, (Bandung: Pustaka Setia Bandung, 2013) hal 113
[8] . http://www.referensimakalah.com Pengertian-Impotensi.html, diakses pada tanggal 1 april 2016
[9] . Al jalilul Hafidz Imaddudin abi al Fida’ Isma’il ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al Qur’anul Adzim,          ( Kairo: Maktabah Auladusy Syaikh lit Turats, 2000 M-1421H,) cet 1, jil 2, hlm 334, ,
[10] . Malik bin Anas, Al-Muwatha’, no 2758, (ttp: Muassasah Zayid, 2004), jil ke 4, hlm 1078.
[11] .  Wahbah az-zuhaili, Al-Wajiz Fi Idhoh Qawaid, (Riyadh: Muassasah ar Risalah, 1983) hlm 81
[12] . Al mausu’ah Al Fiqhiyah,  (Kuwait: Asy-Syu'un al Islamiyah: 1983M/1404H). cet-2,  jil 32, hlm 137
[13] . Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i,  Al-Umm,  (Al-manshurah: darul Wafa' 2001M/1422H), cet-1, juz 6, hlm 449
[14] . Wahbah az Zuhaili,  fiqhul islami, (Damaskus: darul fikri, -2007M/1428H), cet-10, jil 9,  hlm 6864
[15] .  Sayyid Sabiq, fiqhu sunnah, (beirut: dar al-fikri, 1992), jil 2, hlm 203
[16] . ibid
[17] . wahbah az zuhaili, fiqhu islami, (Damaskus: darul fikri, -2007M/1428H), cet-10, jil 4, hlm 585
[18] . Muhammad Syato ad Dimyathi, Hasyiyah I’anatu Ath Thalibin, (ttp: Dar al Kutub al Islamiyah, 2009) hlm 612
[19] . ibid
[20] . ulama berselisih pendapat pada sebab-sebab fasakh yang bergantung pada pengadilan dan tidak bergantung pada pengadilan. (Al-Mausu’ah Al Fiqhiyah, 137)
[21] . Muhammad Syato ad Dimyathi, Hasyiyah I’anatu Ath Thalibin, (ttp: Dar al Kutub al Islamiyah, 2009) hlm 612
[22] Al mausu’ah Al Fiqhiyah al Kuwaitiyah, (Kuwait: Asy-Syu'un al islamiyah: 1983M/1404H). cet-2,  jil 29, hlm 5

[23] 'Aluddin Abi Bakr bin Mas'ud al-Kasani al-Hanafi, Bada'i Ash-Shana'i, (Beirut-Lebanon: Dar-al-Kutub Al-Ilmiyah), cet-2,1986M/1406H, jil 2, hlm 326.

[24] Abi Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid wa NIhayatul Muqtashid, cet-6, 1982M/1402H, (Dar-al-Ma'rifah), jil 2, hlm 70.

[25] . Sayyid Sabiq, fiqhu sunnah, (beirut: dar al-fikri, 1992), jil 2, hlm 202
[26]Wahbah az Zuhaili, Fiqhu Islami, (Damaskus: Darul Fikri, -2007M/1428H), cet-10, jil 4, hlm 606
[27]Muhammad bin Salim bin Dauyan, Manaru as Sabil fi Syarhi ad Dalil, (Iskandariyah: Dar al Aqidah, 2007) jil 2 hlm 116,  abdul kari zaidan, al mufashol hlm 5721
[28]muhammad bin husain Hasani ad Dimsyiqi, kifayatu al akhyar, (ttp: Dar al-Kutub al Islamiyyah,2004) jil hlm 50
[29]Wahbah az-Zuhaili,  Fiqhul Islami, (Damaskus: Dar al Fikri) jil 9 hlm 606
[30] Syamsuddin Muhammad bin Al-Khatib Asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj,  (Beirut-Lebanon: Dar al Ma'rifah, 1997M/1418H), cet-1, juz-3, hlm 202
[31]Abi Al-Barakat Sayyidi Ahmad Ad-dardir, Hasyiyah ad Dasuqi 'Ala Syarhul Kabir, t.c, (t.tp, t.p, t.t) jil 2, hlm 273.
[32]Muhammad bin Umar al Bujairimi Asy-syafi’i, Hasyiyah al Bujairimin ala Syarhi al Khalib,(Libanon: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1996) jil 4, hlm 184,
[33]Mufadal bin Mansur al Husaini, al Bahru az Zakhar, (Beirut: muassasah ar risalah, an Sharu Sunnah al Muhammadiyah, 840) jil 3, hlm 64
[34] Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al Fikri, 2010) jil 2, hlm 2340
[35] Malik bin Anas, al Muwatha’, no 2758 (ttp : Muassasah Zayyid 2004) jil 4, hlm 1078
[36]Ibnu Qudamah, al Mughni,(Lebanon: Dar kutub al Ilmiyah 2oo8), cet ke-1  jil 7, hlm 152
[37]'Aluddin Abi Bakr bin Mas'ud al-Kasani al-Hanafi, Bada'i Ash-Shana'i, (Beirut-Lebanon: Dar al Kutub Al-Ilmiyah, 1986M/1406H) cet-2, jil 2, hlm 336
[38] Muhammad bin Umar al Bujairimi Asy-syafi’i, Hasyiyah al Bujairimin ala Syarhi al Khalib,(Libanon: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1996) jil 4, hlm 184,
[39]Muhammad Abdullah Rabbah Muhammad Sabhi, 2013, Al Aib Asy-Syakhsi wa Atsaruhu fie Aqdi an nikah, tonto
[40]Mufadhal bin Manshur al Husaini, al Bahru az-Zakhar, (Beirut: Ansaru as-Sunnah al Muhammadiyah, muassasah ar Risalah, 840 H, Jil 3, hlm 64
[41]Ibnu al Qoyyim, Zaadul Ma’ad, (ttp Muassasah Zayid, 2004),  jil 4, hlm 1078
[42]'Aluddin Abi Bakr bin Mas'ud al-Kasani al-Hanafi, Bada'i Ash-Shana'i, cet-2, ,(Beirut-Lebanon: Dar al Kutub Al-Ilmiyah, 1986M/1406H), jil 2, hlm 447
[43]Syamsuddin bin  Muhammad bin al Khatib asy-Syarbini , Mughni al-Muhtaj, (Lebanon: Dar al Fikri, 2009) jil 3, hlm 205
[44]Asadullah Muhammad Hanif, Fiqhu Utsman bin Affan fi al Usrah, (Saudi: Ummul Qura, 1994), hlm 118-119
[45] . Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah, (Kuwait: Syu’un al Islamiyah, 1983), jil 39, hlm 189

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khitbah Melalui Media Komunikasi

HUKUM MENERIMA WAKAF DARI ORANG KAFIR

Cara Mengganti Email Blog di blogger