HUKUM JUAL-BELI ORGAN

HUKUM JUAL-BELI ORGAN

A.    Pendahuluan
Semakin berkembangnya zaman semakin berkembang pula ilmu pengetahuan. Banyaknya para ilmuwan yang bermunculan dengan penemuan-penemuan yang mengubah dunia adalah salah satu penyebab semakin banyaknya permasalahan-permasalahan baru yang menjadikan para ulama bekerja lebih keras untuk menemukan jawabannya dalam Islam. Apakah permasalahan tersebut dibolehkan oleh syari’at atau tidak.
            Salah satu cabang ilmu pengetahuan yang seringkali memunculkan permasalahan-permasalahan baru adalah dalam bidang kedokteran. Dalam makalah ini,  penulis akan membahas suatu permasalahan dalam ilmu kedokteran yang sekarang ramai diperbincangkan, yaitu hukum jual-beli organ manusia. Apakah jual-beli semacam ini diperbolehkan dalam Islam atau tidak.
B.     Pengertian
1.      Pengertian jual-beli
Secara etimologi, jual-beli berasal dari bahasa Arab yaitu  بَاعَ – يَبِيْعُ - بَيْعًا yang artinya menjual.[1] Dan disebutkan dalam kamus al-Mu’jamu al-Wasith بَاعَ بِمَالِهِ   bermakna بَسَطَ يَدَهُ بِهِ yang artinya membentangkan atau membuka.[2] Sedangkan secara terminologi yang dimaksud jual-beli adalah sebuah aktifitas pertukaran barang dengan barang, atau serah terima sesuatu dengan sesuatu, atau membayar sejumlah uang untuk mendapatkan barang yang diinginkan.[3]
2.      Pengertian organ
Disebutkan dalam kamus Biologi, yang dimaksud dengan organ adalah kumpulan beberapa jaringan yang bekerja sama untuk melakukan tugas tertentu atau dapat disebut juga alat tubuh, yaitu alat tubuh yang memiliki fungsi dan tugas tertentu pada tubuh manusia atau hewan.[4]
C.     Masyru’iyat Jual-Beli
Para ulama telah bersepakat bahwa jual-beli telah disyariatkan dalam Islam, yaitu dengan menghukumi bahwa jual-beli adalah boleh. Dalil-dalil yang menunjukkan akan pembolehan jual-beli terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun dalil-dalil yang berasal dari al-Qur’an adalah sebagai berikut,
وَ أَحَل اللهُ الْبَيْعَ وَ حَرمَ الربَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (Q.S al-Baqarah: 275).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ   
 “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu” (Q.S an-Nisa’: 29)
Sedangkan dalil yang berasal dari as-Sunnah salah satunya,
عن جابر بن عبدالله رضي الله عنهما أن رسوالله صلي الله عليه وسلم قال (( رَحِمَ الله رَجُلًا سَمحًا إِذَا بَاعَ وَ إِذَا اشْتَرَى وَ إِذَا اقْتَضَى )) رواه البخارى 2072. و في رواية الاخر ((رَحِمَ الله ُعَبْدًا سَمحًا إِذَا بَاعَ سَمْحًا إِذَا اشْتَرَى سَمْحًا إِذَا اقْتَضَى سَمْحًا إِذَا قَضَى)) رواه ابن حبان 4903
Dari Jabir bin Abdullah Radiallahu ‘anhu berkata: bahwasanya Rasulullah bersabda: “Allah menyayangi seseorang yang pemaaf dalam jual dan beli, dan pemaaf pada hutang piutangnya” (HR. Bukhari no. 2072)[5]. Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan: “Allah menyayangi seorang hamba yang pemaaf dalam jual-beli, dan pemaaf dalam hutang piutang dan juga dalam memberikan keputusan” (HR Ibnu Hibban no. 4903)[6]
D.    Syarat-Syarat pada Barang yang Dijual
Dalam permasalahan jual-beli, salah satu hal yang menentukan sahnya jual-beli terletak pada barang-barang yang akan diperjualbelikan. Dan barang-barang yang akan diperjualbelikan haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya:
1)      Halal untuk dimanfaatkan
Hendaknya barang yang akan diperjualbelikan halal secara hukum untuk dimanfaatkan, jika barang tersebut adalah barang yang haram untuk dimanfaatkan -seperti: khamer dan alat musik- maka hukum menjualnya adalah haram.
2)      Milik penjual seutuhnya
Maksudnya barang yang diperjualbelikan berada di bawah kekuasaan penjual. Maka jual-beli tidak dianggap atau tidak sah ketika menjual barang yang masih dalam kekuasaan orang lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala  dalam surat an-Nisa’: 29,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu” (QS an-Nisa’ : 29)
   Disebutkan dalam Tafsir Qur’an al-‘Adzim bahwasanya Allah Ta’ala  melarang memakan harta yang bukan miliknya dengan batil. Oleh sebab itu, memperjualbelikan barang yang bukan miliknya termasuk perbuatan batil karena sama dengan memakan (mempergunakan) harta yang bukan miliknya.[7]
3)      Barangnya ada ketika penyerahan
Tidak sah jual-beli ketika barang yang diperjualbelikan tidak ada waktu penyerahan. Sekalipun barang tersebut milik penjual seutuhnya, seperti menjual burung yang terbang di udara.
4)      Barangnya diketahui
Maksudnya barang yang akan diperjualbelikan telah diketahui jenis, sifat, atau kadarnya, baik dengan dilihat atau disebutkan ciri-cirinya.[8]
E.     Hukum Jual-beli Organ
Perlu diketahui bahwa suatu jual-beli dapat dikatakan sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi, serta tidak adanya penghalang-penghalang dalam jual-beli. Dan pada jual-beli organ, apakah kasus muamalah semacam ini diperbolehkan syari’at atau tidak.
Disebutkan dalam kitab Ta’rif Ahlul Islam bi an Naqla ‘Adwu Haram  bahwasanya DR. Muhammad Sayyid Tantawi berkata akan kesepakatan para ulama bahwa jual-beli organ tubuh manusia tidaklah diperbolehkan, alasannya karena organ tubuh manusia bukanlah objek yang dapat diperjualbelikan, dan juga bukanlah alat tukar yang dapat dipergunakan untuk jual-beli. Organ-organ yang ada pada manusia merupakan pemberian Allah Ta’ala  sebagai bentuk pemulian kepada manusia, maka segala aktivitas yang berkaitan dengan jual-beli organ tubuh manusia hukumnya adalah batil.[9]
Alasan lain yang menjadikan jual-beli organ tubuh tidak diperbolehkan ialah karena barang yang diperjualbelikan tidaklah dalam kekuasaan penjual, dengan kata lain organ yang terdapat di dalam tubuh manusia bukanlah milik manusia. Maka jual-beli organ dapat dikategorikan sebagai jual-beli yang batil, karena menjual barang yang bukan miliknya. Padahal sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu syarat yang harus dipenuhi pada barang yang akan diperjualbelikan adalah barang tersebut berada di bawah kekuasaan penjual secara utuh.
Sebagaimana perkataan Imam Ibnu Hazm: “Ulama telah bersepakat bahwa jual-beli barang yang bukan miliknya termasuk jual-beli batil”.  Bahkan Syaikh ‘Alauddin al-Hashkafi menyatakan bahwa haram hukumnya menjual rambut manusia sekalipun ia kafir, dikarenakan manusia telah dimuliakan oleh Allah Ta’ala  dengan segala kelebihannya dibandingkan dengan makhluk yang lainnya.[10]
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Isra: 70,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
                        “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Q.S al-Isra: 70)
                        Disebutkan dalam Tafsir Qur’an al-‘adzim yang dikarang oleh Ibnu Katsir bahwasanya Allah Ta’ala  telah memuliakan manusia diantara makhluk ciptaannya yang lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala  dalam surat at-Tin ayat 4,
قَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
                        “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya” (QS at-Tin: 4)
                        Maksudnya adalah bahwa manusia telah Allah Ta’ala  sempurnakan atas makhluk yang lain. Allah Ta’ala  telah menjadikan manusia berjalan di atas kakinya dan makan dengan tangan, sedangkan makhluk yang lain ada yang berjalan di atas empat kakinya dan makan menggunakan mulut secara langsung. Selain itu, manusia diberikan akal untuk berfikir yang dapat digunakan untuk membedakan perkara yang baik dan buruk dalam urusan duniawi dan akhirat.
                        Oleh sebab itu, menjual organ tubuh sama halnya dengan merendahkan martabat manusia, yang mana manusia telah diberikan berbagai kesempurnaan yang berbeda dengan makhluk yang lainnya.[11]
F.      Organ yang Terpotong Apakah Najis?
Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهيمَةِ ـ وَهِيَ حَيَّةٌ ـ فَهُوَ مَيِّتٌ
“Apa saja yang dipotong dari hewan yang masih hidup, maka bagian yang dipotong tersebut menjadi bangkai” (HR. Tirmidzi no. 1480, Ibnu Majah no. 3216).[12]
Ibnu Malik berpendapat tentang hadis di atas dalam kitab Tuhfatu al-Ahwadi yaitu semua organ yang terpotong maka ia adalah haram, maksudnya haram untuk dimakan.[13] Namun untuk masalah ini ulama mengqiyaskan, yaitu haram untuk diperjualbelikan.
Berdasarkan hadits di atas bahwa organ yang dipotong dari yang hidup adalah bangkai, maka pada saat ginjal diambil dari orang yang menjualnya, ginjal telah berubah hukumnya menjadi bangkai, dan bangkai tidak sah diperjualbelikan. Karena di antara syarat sah jual-beli bahwa objek yang diperjualbelikan haruslah suci, sedangkan bangkai adalah najis.
Namun perlu diingat, bahwa pada saat ginjal telah dicangkokkan dan ginjal tersebut telah berfungsi kembali, apakah dengan demikian jual-belinya sah dan ginjal yang dicangkokkan bukan lagi bangkai akan tetapi sudah menjadi suci?
 Dalam hal ini Ibnu ‘Abidin menyatakan pendapatnya: “Jika anggota tubuh yang telah dipotong tersebut ditempelkan kembali dan berfungsi kembali seperti semula, berarti anggota tersebut telah dialiri kehidupan dan tidak dapat dikatakan lepas dari yang hidup, karena jika seseorang mati kemudian melalui mukjizat dia dapat hidup kembali maka dia suci dan tidak najis, begitu juga bagian dari anggota tubuhnya”
Ini bukan berarti boleh hukumnya jual-beli organ tubuh manusia, karena ada larangan lain tentang menjual organ tubuh manusia sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, boleh mendermakan organ tubuh kepada orang yang membutuhkan tanpa mengambil imbalan, dengan syarat si penderma tidak menjadi celaka dengan diambilnya organ tersebut dari tubuhnya dan diyakini bahwa proses pencangkokan berhasil.
Sebagaimana yang telah difatwakan oleh Majma’ al-Fiqh al-Islami no: 26 (1/4) tahun 1988, yang berbunyi: “Boleh memindahkan organ tubuh seorang manusia ke manusia lainnya... jika terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan syari’at.
Bolehnya hukum memindahkan organ tubuh dari seorang manusia ke manusia lainnya dengan syarat bukan melalui cara jual-beli, karena tidak boleh menjual anggota tubuh manusia kapanpun juga.
Adapun pemberian hadiah atas dasar hormat terhadap orang yang menyumbangkan organnya dan sebagai ungkapan rasa terima kasih, semoga tidak mengapa”. [14]
G.    Kesimpulan dan Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum jual-beli organ tubuh adalah tidak diperbolehkan, bahkan ada ulama yang berpendapat haram hukumnya menjual rambut sekalipun ia kafir. Karena salah satu syarat sahnya jual-beli adalah barang yang diperjualbelikan merupakan milik pembeli secara keseluruhan, sedangkan tubuh manusia bukanlah milik manusia, melainkan pemberian dari Allah Ta’ala  sebagai bentuk pemuliaan dan kesempurnaan kepada manusia.
Selain organ bukanlah milik manusia, alasan lain yang menyebabkan jual-beli organ tubuh tidak diperbolehkan adalah bahwa organ bukanlah objek yang dapat dijual-beli, juga tidak dapat menjadi alat tukar. Kemudian perlu diketahui bahwa organ tubuh yang terpotong adalah najis kecuali ketika telah dicangkokkan dan telah dialiri kehidupan lagi.
Demikian makalah yang mampu penulis paparkan, semoga bermanfaat. Wallahu A’lam bish Shawab.



















DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim Terjemahan Depertemen Agama R.I. 2006.
Azazi,Al-, Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf, Tamamu al-Minnah, jilid. 3, Qahirah: Dar al-‘Aqidah, t.t.p.         
Budiono, Kamus Lengkap Biologi, Jakarta: Bintang Indonesia, t.t.p.
Bukhari,Al-, Jami’ as-Shahih, “kitab jual-beli”, jilid. 2, Qahirah: al-Matbaghah as-Salafiyyah, 1403 H.
Hasan,Al-, Abdullah bin Muhammad bin ash-Shidiq al-Ghamari, Ta’rif Ahlul Islam bian Naqla ‘Adzwu Haram, Qahirah: Maktabah al-Qahirah, 1997 M.
Hibban, Ibnu, Shahih Ibnu Hibban, “kitab jual-beli”, jilid. 11, Bairut: Muasasah ar-Risalah, 1993 M.
Islamiyah,Al-, Wizaratu al-Auqaf wa asy-Syuuni, al-Mausu’ah al-Islamiyah, jilid. 1, Kuwait: Dzatu as-Saalasil, 1983 M.
Jakani,Al-, Muhammad bin Muhammd al-Mukhtar bin Ahmad Mazid, Ahkam al-Jarahah ath-Tabibah, Jaddah: Maktabah ash-Sahabah, 1994 M.
Katsir, Ibnu, Tafsir Qur’an al-‘Adzim, jilid. 3, Qahirah: Maktabah Aulad as-Syaikh lit Turats, 2000 M.
Majah, Ibnu, Sunan Ibnu Majah, “kitab ash-Shaid”, jilid 2, Beirut: Dar al-Fikr, 2010 M.
Mubarakfuri,Al-, Ibnu Aburrahman, Tuhfatu al-Ahwadi, jilid. 4, Qahirah: Dar al-Hadis, 2001 M.
Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.
Qudamah, Ibnu, al-Mughni, jilid ke-6, Riyadh: Dar al-‘Alim al-Kutub, 1997.
Tarmizi, Erwandi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bogor: BMI Publishing, 2013.
Tirmidzi,At-, Sunan at-Tirmidzi, “kitab ash-Shaid”, jilid. 3, Beirut: Dar al-Fikr, 2009 M.
Unais, Ibrahim dkk, al-Mu’jamu al-Wasith, Qahirah: Maktabah asy-Syuruq ad-Dauliyah, 2005 M.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, t.t.p.
Zuhaili,Al-, Wahbah, Fiqh Islam wa adz-Dzilatuhu, jilid. 4, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985 M.



[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, t.t.p.), hal. 75.
[2] Ibrahim Unais dkk, al-Mu’jamu al-Wasith, (Qahirah: Maktabah asy-Syuruq ad-Dauliyah, 2005 M), hal. 96.
[3] Wizaratu al-Auqaf wa asy-Syuuni al-Islamiyah, al-Mausu’ah al-Islamiyah, cet. ke-2, jilid ke-1 (Kuwait: Dzatu as-Saalasil, 1983 M), hal. 5 dan Ibnu Qudamah, al-Mughni, cet. ke-3, jilid ke-6, (Riyadh: Dar al-‘Alim al-Kutub, 1997), hal.9.
[4] Budiono, Kamus Lengkap Biologi, (Jakarta: Bintang Indonesia, t.t.), hal. 307. W.J.S Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), hal. 688.
[5] Imam al-Bukhari, Jami’ as-Shahih, “kitab jual-beli”, jilid. 2, (Qahirah: al-Matbaghah as-Salafiyyah, 1403 H), hal. 81, hadis no. 2072.
[6] Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, “kitab jual-beli”, jilid. 11, (Bairut: Muasasah ar-Risalah, 1993 M), hal. 267, hadis no. 4903.
[7] Ibnu Katsir, Tafsir Qur’an al-‘Adzim, jilid. 3, (Qahirah: Maktabah Aulad as-Syaikh lit Turats, 2000 M), hal. 444.
[8] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, jilid. 4, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985 M), hal. 357. Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf al-‘Azazi, Tamamu al-Minnah, jilid. 3, (Qahirah: Dar al-‘Aqidah, t.t.p.) hal.291.
[9] Abdullah bin Muhammad bin ash-Shidiq al-Ghamari al-Hasani, Ta’rif Ahlul Islam bian Naqla ‘Adzwu Haram, (Qahirah: Maktabah al-Qahirah, 1997 M), hal.46.
[10] Muhammad bin Muhammd al-Mukhtar bin Ahmad Mazid al-Jakani, Ahkam al-Jarahah ath-Thabibah, (Jeddah: Maktabah ash-Sahabah, 1994 M), hal. 591-592.
[11] Ibnu Katsir, Tafsir Qur’an al-‘Adzim..., hal. 44.
[12] At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, “kitab ash-Shaid”, jilid. 3, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009 M), hal. 153, no. 1480. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, “kitab ash-Shaid”, jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 2010 M), hal. 266, no. 3216.
[13] Ibnu Aburrahman al-Mubarakfuri, Tuhfatu al-Ahwadzi, jilid. 4, (Qahirah: Dar al-Hadis, 2001 M), hal. 413.
[14] Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, (Bogor: BMI Publishing,2013), hal.48-49.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khitbah Melalui Media Komunikasi

HUKUM MENERIMA WAKAF DARI ORANG KAFIR

Cara Mengganti Email Blog di blogger