HUKUM MENERIMA WAKAF DARI ORANG KAFIR
HUKUM MENERIMA WAKAF DARI ORANG KAFIR
Wakaf merupakan salah satu elemen utama dalam pembagunan kemaslahatan umat.
Disamping itu wakaf juga sebagai wujud ibadah yang mencakup hubungan manusia
dengan Rabb-Nya dan hubungan
manusia antar manusia lainnya.
Dalam tinjauan hukum Islam, wakaf sendiri tidak ada sumber hukum utama yang
mengkaji secara objektif hukum perwakafan. Pada masa kehidupan Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam baik masih di Makkah maupun di Madinah tidak dijelaskan
bagaimana hukum wakaf secara praktek di kehidupan. kemudian para ulama
berijtihad dalam memberikan kepastian
hukum terhadap wakaf secara objektif.
Perwakafan di dalam Islam dihadapkan pada beberapa kendala terkait
pengelolaan wakaf dalam membangun kemaslahatan.
Salah satunya seperti pemberian harta dalam bentuk wakaf dari non-muslim
untuk dipergunakan umat Islam.
B. DEFINISI
a) Pengertian Wakaf
Wakaf secara bahasa berasal dari bahasa Arab وقف yang artinya
berhenti, menahan.[1] Menurut para ulama, secara umum adalah menahan sesuatu
atas kepemilikan pewakaf.[2]
b) Definisi Kafir
Orang kafir
terbagi menjadi dua golongan, yaitu: ahlul harbi dan ahlul ‘aqdi.
Ahlu Harbi adalah orang kafir yang disyari’atkan untuk diperangi dengan
ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam dan halal darahnya. Sementara
ahlul ‘aqdi terbagi menjadi tiga[3],
yaitu;
1. Kafir dzimmi, orang kafir
diharuskan membayar jizyah atas jaminan perlindungan dalam jangka waktu
seumur hidup dan mereka berjanji untuk megikuti hukum dalam Negara itu.[4]
2. Kafir musta’man, adalah
orang kafir yang tinggal hanya sementara di negara Islam dan meminta
jaminan keamanan terhadap orang Muslim. Tidak boleh membunuh dan mengambil jizyah
dari mereka. Jika masa
jaminan telah habis maka mereka kembali ke Negara mereka menjadi kafir harbi.[5]
3. Kafir Mu’ahad,
orang kafir yang memiliki perjanjian sementara kepada orang muslim, mereka
tidak menentang hukum Islam sebagaimana kafir dzimmi. Kafir mu’ahad juga
dinamakan ahlul hudnah dan ahlu sulhi.[6]
Akan tetapi, masing-masing dari ketiga kafir di atas hanya terjadi ketika Daulah
Islamiyah tegak. Orang kafir
yang terjadi pada hari ini di Indonesia khususnya, adalah mereka bukan dari
kategori kafir di atas. Hal ini dapat dilihat fakta negara Indonesia sendiri
berdiri bukan dengan hukum Islam, melainkan UUD dan Pancasila.
C. LANDASAN HUKUM WAKAF
Firman Allah Ta’ala:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا
تُحِبُّونَ، وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. Ali Imran: 92).
Dalam Fathu
al-Qadir dijelaskan bahwa manusia tidak akan memperoleh kebaikan yaitu
amal shalih atau surga sehingga
mereka menginfakkan sebagian hartanya yang dia cintai. Karena infak merupakan jalan kebaikan melaui shadaqah atau yang
lainnya sebagai bentuk keta’atan.[7]
Hadits Nabi Shalallahu
‘alaihi wasalllam;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ
عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه مسلم، والترمذي،
والنسائي، وأبو داود).
"Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Apabila manusia
meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali dari tiga hal,
yaitu dari sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang
mendoakannya” (HR. Muslim, al-Tirmidzi,
al-Nasa’i, dan Abu Daud)[8]
Para ulama
mengatakan bahwa makna hadits di atas ialah amalan orang yang telah meninggal
dunia tidak akan terputus dengan kematiannya, akan tetapi selalu bertambah
dengan pahala yang dia dapat melalui salah satu dari tiga hal tersebut. Begitu
juga dengan sedekah, yaitu dengan wakaf.[9]
Adapun
perbuatan wakaf yang dilakukan oleh sahabat adalah Umar bin Khathab yang
mewakafkan tanah di Khaibar.[10] Kemudian perbuatan sahabat Utsman bin Affan yang mewakafkan sumurnya
bernama raumah untuk penduduk Madinah yang kekurangan air, Zubair yang
mewakafkan rumahnya di Makkah, Amru bin Ash yang mewakafkan tanah dan rumahnya
di Makkah.[11]
Wakaf
merupakan perbuatan sunnah yang dianjurkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi
wasallam, Beliau bersabda:
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلاّ من ثلاثٍ: صدقة جارية, أو
علمٍ ينتفع به من بعده, أو ولدٍ صالحٍ يدعو له
“Jika anak Adam meninggal,
amalnya akan terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang
dimanfaatkan setelah dia meninggal, atau anak yang shalih yang mendo’akan baik
kepadanya.”(HR. Muslim)[12]
Wakaf
merupakan harta yang tak bergerak, seperti membangun masjid atau mewakafkan
tanah untuk membangun sekolah dan telah berpindah kepemilikannya sebagaimana
mewakafkan mushaf atau buku-buku yag bermanfaat.[13]
D. RUKUN WAKAF
Menurut mayoritas ulama rukun wakaf ada empat[14],
yaitu:
a) Orang yang mewakafkan
(waqif)
b) Peruntukan wakaf atau
pihak yang diberi wakaf (mauquf ‘alaih)
c) Harta atau barang yang
diwakafkan (maal al-mauquf)
d) Pernyataan atau ikrar
wakaf (shighah)
E. HUKUM MENERIMA WAKAF DARI
ORANG KAFIR
Dari berbagai
penyataan di atas, wakaf yang terjadi pada umumnya hanya pada orang muslim yang
mewakafkan. Mengenai perwakafan yang dilaksanakan oleh orang kafir, maka
perlunya kita melihat kriteria pewakaf yang disahkan[15],
diantaranya:
1.
Pewakaf adalah orang muslim
2.
Pewakaf adalah orang yang berakal, baligh
3.
Pewakaf adalah orang yang memahami
segala bentuk transaksi terhadap manusia
4.
Pewakaf adalah orang yang merdeka
5.
Pewakaf adalah orang yang memiliki
harta yang akan diwakafkan secara utuh kepemilikan sendiri dan mewakafkan atas
dasar kehendak sendiri.
Akan tetapi,
mengenai perwakafan yang dilaksanakan oleh orang kafir, terjadi perbedaan
pendapat di kalangan para ulama’:
a.)
Pendapat yang memperbolehkan
perwakafan dari orang kafir
-
Madzhab Syafi’iyyah membolehkan menerima wakaf orang kafir meskipun untuk
masjid dan sedekah-sedekahnya mendapatkan pahala di dunia. Namun tidak
mendapatkan pahala di akhirat.[16] Karena sebesar dan sebaik apapun amalan
mereka tetap tidak diterima oleh Allah.
-
Sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa wakaf orang kafir untuk kebaikan orang Muslim itu sah, seperti masjid.
Sebab itu adalah ibadah dalam pandangan Islam dan kebaikan untuk umat Islam.
Sementara wakaf orang kafir untuk kebaikan dan ibadah mereka tidak sah karena
bukan ibadah menurut Islam. Artinya, bentuk perwakafan untuk tujuan maksiat
tidak diperbolehkan.[17]
-
Al-Kamal bin al-Hammam mengatakan,”Syarat bagi
pewakaf ialah semua syarat bersedekah yaitu dalam keadaan merdeka, baligh dan
berakal. Sedangkan Islam bukan bagian dari syarat bagi pewakaf.[18] Dari
perkataan al-Kamal bin al-Hammam tersebut dapat disimpulkan bahwa orang Islam
bukan syarat daripada pewakaf, jadi orang kafir boleh menjadi seorang pewakaf.
Dalam pembahasan ini yang dimaksud bolehnya wakaf seorang kafir adalah wakafnya
seorang kafir dzimmi, karena wakaf kafir dzimmi sah sebagaimana wakafnya orang
Muslim. Boleh bersedekah kepada mereka, maka wakaf kepada mereka diperbolehkan
sebagaimana berwakaf kepada orang Muslim. Adapun wakaf kepada orang yang murtad, kafir harbi dan kepada diri
sendiri maka tidak sah.[19]
Kebolehan wakaf orang Muslim untuk kafir dzimmi berdasarkan perbuatan istri
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yaitu Shafiyah binti Huyay, beliau
pernah mewakafkan sesuatu kepada saudaranya yang bukan Muslim.[20] “Bahwasannya
Shafiyah binti Huyay radhiyallahu ‘anha istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam,
beliau pernah mewakafkan (sesuatu) kepada saudara yahudinya. (HR.
al-Baihaqi)[21]
b.)
Pendapat yang melarang perwakafan
dari orang kafir
-
Madzhab Hanafiyah berpendapat tidak
sah wakaf dari orang kafir untuk masjid (atau lembaga pendidikan Islam), karena
meskipun menurut pandangan Islam itu termasuk tempat ibadah dan kebaikan untuk
umat islam, akan tetapi bukan termasuk ibadah menurut pandangan dan keyakinan
mereka yang mewakkafkan.[22]
-
Madzhab Malikiyah yang terpercaya
tidak sah wakaf dari orang untuk masjid atau lembaga-lembaga Islam, sekalipun
dari kafir dzimmi.[23]
Wakaf dari orang murtad dan kafir harbi tidak
sah. Karena pada dasarnya harta mereka mubah, boleh diambil dari mereka dengan
paksaan atau penakhlukan.[24]
Maka, kesimpulan dari dua madzhab di atas,
bahwa hakikat perwakafan ditujukan untuk kebaikan pewakaf dan khalayak umum. Artinya
diantara kedua belah pihak akan saling menguntungkan.
F. KESIMPULAN
Sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, maka bolehnya menerima wakaf dari orang kafir. Berdasarkan
pendapat Syafi’iyah, karena berdasarkan sukarela dan tidak memandang keyakinan
mereka seperti apa. Maka, tidak ada pengaruh yang timbul kepada kaum muslimin.
Untuk mengenai masalah amalan mereka tetap itu urusan mereka dengan Allah. Yang
terpenting adalah dilihat secara dzahir atas perbuatannya kepada kaum muslimin.
Wallahu A’lam.
G. DAFTAR PUSTAKA
Albani, al-, Muhammad
Nashiruddin, Irwa’ al-Ghalil, cet. Ke-1, Beirut: Maktabah al-Islami,
1979
Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya Departemen Agama
Annas, Ibrahim dkk, Mu’jam al-Wasith, Kairo: tp, 1972
asy-Syafi’I, Ahmad Mahmud, al-Washiyyah fi
al-Fiqh al-Islami, Iskandariyyah: Daar al-Huda, 1968
Atsqalani, al-, Ibnu Hajar, Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Lebanon: Daar Kutub
al-Ilmiyah, 2012
Ghanayim, Muhammad Nabil, Syuruth al-Waqf fi al-Islam, Makkah:
Jami’ah Ummu al-Qurra, 1422 H
Jauziyyah, al-, Ibnu Qayyim, Ahkam ahlu adz-Dzimmah, cet. Ke-1 Arab Saudi: Ramadi lin-Nasyar, 1997
Kabisi, al-, Dr. Muhammad
Ubaid, Ahkam al-Waqf fi asy-Syari’ah al-Islamiyah, Baghdad: al-Irsyad,
1977
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawir Kamus
Arab Indonesia, cet. Ke-14, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Nawawi, An-, Minhaj ath-Thalibin, cet. Ke-1 Beirut: Daar al-Minhaj, 2005
___________, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Bab “ma yulhiqu al-insan min ash-showab ba’da
wafatihi”, Kairo: Daar al-Hadits, 2001
Qudamah , Ibnu, al-Mughni, cet. Ke-3, Riyadh: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008
Syabili, asy-, Dr. Yusuf bin Abdullah, Muqaranah Baina Nidzomi al-Waqf wa at-Takmin
at-Takafuli, Malaysia: al-Jami’ah al-Islamiyah al-‘Alamiyah bi Malaiziyya,
2008
Syaukani, Asy-, Fathu al-Qadir, Beirut: Daar
Kutub al-Ilmiyah, 2003
Zuhaili, az-, Wahbah, al-Fiqh
al-Islami wa ‘Adillatuhu, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani dkk, cet. Ke-1,
Jakarta: Gema Insani, 2011
_________________, al-Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuhu, Damaskus: Daar al-Fikr, 2007
[1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawir
Kamus Arab Indonesia, cet. Ke-14, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
Hlm.1576
[2]Ibrahim Annas dkk, Mu’jam
al-Wasith,(Kairo: tp, 1972, Hlm. 1095
[3] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah,
Ahkam ahlu adz-Dzimmah, cet. 1 (Arab Saudi: Ramadi lin-Nasyar, 1997)
Jil. 2, Hlm. 873
[4]Ibid Hlm. 874
[5] Ibid
[6] Ibid
[8] An-Nawawi, Shahih Muslim
bi Syarh an-Nawawi, Bab “ma yulhiqu al-insan min ash-showab ba’da
wafatihi”, No. 1631, (Kairo: Daar al-Hadits, 2001), Jil. 6, Hlm. 95
[9] Ibid
[10] Ibnu Hajar al-Atsqalani,
Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, (Lebanon: Daar Kutub al-Ilmiyah,
2012) Jil. 6, Hlm. 300
[11] Ibnu Qudamah, al-Mughni,
cet. Ke-3, (Riyadh: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), Jil. 4, Hlm. 528
[12] An-Nawawi, Shahih
Muslim bi Syarh an-Nawawi………, Hlm. 95
[13] Dr. Yusuf bin Abdullah
asy-Syabili, Muqaranah Baina Nidzomi al-Waqf wa at-Takmin at-Takafuli, (Malaysia:
al-Jami’ah al-Islamiyah al-‘Alamiyah bi Malaiziyya, 2008) Hlm. 1
[14] Dr. Muhammad Ubaid
al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi asy-Syari’ah al-Islamiyah, (Baghdad:
al-Irsyad, 1977) Jil. 1, Hlm. 148
[15] Ahmad Mahmud asy-Syafi’i, al-Washiyyah fi
al-Fiqh al-Islami, (Iskandariyyah: Daar al-Huda, 1968), Hlm. 212
[16]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa ‘Adillatuhu, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Jil. 10, Hlm. 291
[17] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuhu, (Damaskus: Daar
al-Fikr, 2007), Jil. 10, Hlm.7649
[18] Muhammad Nabil Ghanayim, Syuruth al-Waqf fi al-Islam, (Makkah: Jami’ah Ummu al-Qurra, 1422 H ), Hlm. 245
[19] An-Nawawi, Minhaj
ath-Thalibin, Cet. 1 (Beirut: Daar al-Minhaj, 2005) Hlm. 319
[21] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Irwa’ al-Ghalil, Cet. 1, No. 1590,
(Beirut: Maktabah al-Islami, 1979) Jil. 6, Hlm. 38
Komentar
Posting Komentar