HUKUM KB (KELUARGA BERENCANA) DITINJAU DARI TUJUAN PELAKSANAANNYA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

HUKUM KB (KELUARGA BERENCANA) DITINJAU DARI TUJUAN PELAKSANAANNYA
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A.        PENDAHULUAN
Islam sangat menganjurkan umatnya memperbanyak keturunan. Selain agar mengisi alam semesta ini dengan orang-orang shalih dan beriman juga Rosulullah berbangga dengan jumlah umatnya yang banyak pada hari kiamat. Namun, bukan berarti penganjuran itu hanya terfokus pada jumlahnya yang banyak, tapi juga kualitasnya.  Sehingga menjadi kewajiban orang tua setelah memperbanyak keturunan adalah mendidiknya dengan pendidikan yang baik.
Diantara metode untuk mengoptimakan pendidikan anak adalah dengan mengatur jarak kelahiran anak. Hal ini penting mengingat bila setiap tahun melahirkan anak, akan membuat sang ibu tidak punya kesempatan untuk memberikan perhatian kepada anaknya. Bukan hanya itu, nutrisi dalam bentuk ASI yang sangat dibutuhkan pun akan berkurang. Padahal secara alamiyah, seorang bayi idealnya menyusu kepada ibunya selama dua tahun meski bukan sebuah kewajiban.
Dengan alasan inilah, atau berbagai jenis alasan lain, juga karena masyhurnya program KB ini di seluruh dunia tak terkecuali Indonesia, mendorong banyak pasangan suami istri memilih bergabung dalam program KB untuk mengatur jarak kelahiran atau membatasi  jumlah anak mereka. Hanya saja, banyak yang kemudian melakukannya namun tidak berlandaskan hukum Islam. berangkat dari keragu-raguan dan kekhawatiran tersebut, di dalam makalah ini penulis memilih untuk mengkaji bagaimana pandangan ulama dalam perkara  ini. sehingga di kemudian hari kita tidak lagi ragu, apakah harus melakukannya ataukah memilih meninggalkannya.

B.        PENGERTIAN KB (KELUARGA BERENCANA)
a.       Secara etimologi
Istilah KB berasal dari kata keluarga dan berencana. Apabila kata ini dipisah, maka “keluarga” mempunyai arti tersendiri, demikian juga dengan kata “berencana”. Yang dimaksud di sini ialah unit terkecil di dalam masyarakat yang anggota-aggotanya adalah ayah dan ibu atau ayah, ibu dan anak.[1] Satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.[2]
b.      Secara terminologi
Keluarga berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.[3]

C.       SEJARAH KEMUNCULAN KB
Ide keluarga berencana dimunculkan dari teori mengenai penduduk yang dikemukakan oleh Thomas Robert Maltus yang hidup pada 1774-1824[4]. Yang kemudian timbul bermacam-macam pandangan sebagai perbaikan teori Maltus tersebut. Maltus mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat dari bahan makanan. Akibatnya pada suatu saat akan terjadi perbedaan yang besar antara penduduk dan kebutuhan hidup.
Pada intinya, teori ini didasarkan oleh kekhawatiran maltus akan meningkatnya populasi penduduk sehingga menyebabkan kemiskinan dan berujung pada kegagalan suatu bangsa serta mengurangi kekuatan negara.Sehingga menurutnya, ada faktor-faktor pencegah yang dapat mengurangi kegoncangan dan kepincangan terhadap perbandingan antara penduduk dan manusia.
Selanjutnya, upaya keluarga berencana timbul atas inisiatif sekelompok orang  yang menaruh perhatian pada masalah kesehatan ibu, yaitu pada awal abad XIX di Inggris (London) yaitu Marie Stopes (1880-1950) yang menganjurkan pengaturan kehamilan di kalangan buruh.
Di Amerika Serikat dipelopori oleh Margareth Sanger, lahir di Corny New York (1883-1966) dengan program birth control nya merupakan pelopor KB modern.[5]
Pada tahun  1913 Margaret Sanger pergi ke Eropa untuk mempelajari pengetahuan di bidang kontrasepsi. Sekembalinya dari Eropa ia terus berjuang menyebarkan ilmunya dan mendirikan berbagai organisasi. Usaha Margareth berkembang terus ke seluruh dunia termasuk di Indonesia. Dengan demikian tepatlah kalau dikatakan sebagai tonggak pemulaan sejarah keluarga berencana adalah Margareth Sanger.
Lahirnya istilah pembatasan keturunan di negara Islam, merupakan hasil upaya dari Amerika dan Eropa, dengan tujuan untuk menanggulangi krisis ekonomi yang sedang menimpa suatu bangsa tertentu tanpa membedakan antara negara maju dan negara berkembang. Pada awalnya, ide ini disebarkan secara tertutup, kemudian sedikit demi sedikit masuk ke negara-negara islam. Ketika Israel dan Amerika Serikat menjajah Palestina dengan mengusir penduduk serta merampas harta kekayaannya, kemudian mereka khawatir dan takut terhadap meningkatnya angka kelahiran umat islam di Palestina. Mereka mencetuskan ide pembatasan angka kelahiran untuk memerangi umat islam secara perlahan-lahan lewat perang idiologi.[6]

D.      TUJUAN PELAKSANAAN KB
Secara umum istilah KB dikenal di kalangan ulama kontemporer dengan sebutan tahdid an-nasl. Jika ditinjau dari pelaksanaannya, KB memiliki beberapa tujuan, diantaranya membatasi keturunan dan mengatur jarak kelahiran. berangkat dari tujuan itu para ulama membaginya ke dalam beberapa istilah. Yaitu tahdid an-nasl dan tanzhim an-nasl.[7]
Sebagian ulama mendefinisikan tahdid an-nasl sebagai upaya pencegahan kehamilan secara total setelah memiliki anak dalam jumlah tertentu  atau untuk pemandulan permanen. Dan adapula yang menyamakan antara tahdid dan tanzhim yaitu sebagai upaya yang dilakukan dalam rangka menyedikitkan keturunan.[8]
Namun, kebanyakan dari para pengkaji dalam masalah ini menggunakan istilah tahdid an-nasl sebagai pemberhentian kehamilan setelah memiliki anak dalam jumlah tertentu. Dan menggunakan istilah tanzhim an-nasl untuk mencegah kehamilan pada waktu-waktu tertentu saja atau pada satu keadaan dan tidak pada keadaan yang lain. Adapun wasilah atau perantara dalam merealisasikan salah satu dari keduanya adalah dengan man’u al-hamli. Istilah ini juga yang dugunakan oleh al-Majami’ al-Fiqhiyah.[9]
Adapun menurut Dr. Muhammad Abdul Hamid an-Naqib, bahwa at-tanzhim berasal dari kata nizham, dan at-tahdid berasal dari kata al-had. Sehingga maksud dari at-tanzhim adalah menjadikan sesuatu teratur. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Mahmud Akam bahwa tidak termasuk kategori dharurah jika maksud akhirnya adalah untuk menyedikitkan anak. Namun, kadang kala tujuannya adalah demi kesehatan anak dan ibu, terkadang untuk memaksimalkan pendidikan, atau tujuan-tujuan lain. Adapun tahdid an-nasl adalah menghentikan keturunan dalam batasan tertentu atau jumlah tertentu. Namun terkadang pula  keputusan suami istri untuk menghentikan kehamilan disebabkan suatu penyakit yang menimpa si istri, atau melewati usia tertentu, atau setelah memiliki 4 orang anak dan berbagai bentuk lainnya.[10]
Sedangkan man’u al-hamli adalah wasilah atau perantara untuk mencapai salah satu dari keduanya sebagaimana pendapat kebanyakan pengkaji dalam permasalahan ini, bahwa man’u al-hamli tidak termasuk dari keduanya ditilik dari teori dan penerapannya. Bukan juga sebagai sasaran dan tujuan, melainkan perantara untuk mencapai sebuah tujuan.[11]

E.       HUKUM MELAKUKAN KB
Pada dasarnya, Islama sangat menganjurkan umatnya untuk memperbanyak keturunan. Diantara hadits  yang menerangkan hal tersebut adalah hadits riwayat Ma’qal bin Yasar ketika datang seorang laki-laki meminta pendapat Rasulullah mengenai calon istrinya yang memiliki nasab yang baik dan cantik namun mandul, maka beliau mengatakan “jangan” lalu ia bertanya untuk kedua kalinya, maka Rasulullah Sallallahu Alaihi wasallam bersabda:
تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم الأمم
“Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak (subur), karena sesungguhnya aku akan bebangga banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat terdahulu.” [12] (HR: an-Nasa’i, Abu Dawud).
Dalam hadits di atas sangat jelas sekali bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk memperbanyak keturunan. Sehingga upaya-upaya yang dilakukan untuk menyedikitkan keturunan sangat tidak sejalan dengan syari’at bertanasul[13]. Permasalahan mengenai pengaturan kehamilan bukanlah hal baru, secara sekilas dan tersirat Rasulullah Sallallahu  Alaihi Wasallam dan para sahabatnya pernah membahas masalah ini yaitu dalam permasalahan azl. Meski begitu, tidak ada dalil sharih yang menegaskan tentang permasalahan ini. sebab dalam azl sendiri para ulama berselisih pendapat tentang kemubahannya. Banyak ulama yang berusaha mengkaji masalah yang berkaitan dengan KB, namun tidak ada ijma’ yang menetapkan secara pasti hukum tersebut.[14] Sehingga pendapat ulama mengenai hal ini sangat bermacam-macam.
a)      KB dengan tujuan tahdid  
Di dalam kitab Fiqih an-Nawazil dijelaskan bahwa apabila melakukan KB dalam rangka membatasi keturunan secara mutlak[15] hukumnya adalah haram[16], baik penerapan yang bersifat umum kepada masyarakat atau yang bersifat perorangan.[17] Kecuali bagi orang yang berada pada suatu keadaan yang mengharuskannya melakukan hal itu.[18] Sebab memperbanyak keturunan merupakan sebuah perintah  yang sangat dianjurkan di dalam Islam.[19] Dan nasl adalah salah satu dari dharuriyatul khamsah yang telah disepakati kewajiban menjaganya oleh para ulama.[20]
Abdul Aziz bin as-Sadiq mengatakan bahwa hal yang melatarbelakangi penerapan dan anjuran KB secara umum di negeri-negeri Eropa adalah kehkawatiran mereka atas perekonomian negara dan kemiskinan yang melanda. Dan ini tentu bertentangan dan tidak sejalan dengan ajaran Islam secara umum.[21] Salah dalam memahami takdir dan kerena kedangkalan akallah menyebabkan mereka berburuk sangka kepada Allah[22]. padahal Allah Ta’ala menegaskan bahwa Dia-lah yang menanggung rejeki seluruh hamba-Nya. Sebagaimana tertera dalam firman Allah:
((وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ))
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS: Hud: 6)
Allah juga membantah orang-orang jahiliyah sebelum Islam yang membunuh anak-anaknya disebabkan  kekhawatiran mereka akan kemiskinan dan memperingatkan kaum muslimin dari perbuatan tersebut. Sebab perbuatan tersebut mengandung  banyak tindak kejahatan. diantaranya,  membunuh jiwa yang diharamkan, berprasangka buruk kepada Allah dan termasuk menjelek-jelekkan Allah.[23] Allah Ta’ala berfirman:
((وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا)).
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rejeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu suatu dosa yang besar.” (QS: al-Isra’ : 31)
Sejalan dengan itu, banyak hadits-hadits yang menganjurkan untuk menikahi wanita yang subur dan tidak menikahi wanita-wanita yang mandul. Oleh karena itu, ajakan dan anjuran membatasi keturunan yang diterapkan secara umum kepada seluruh kalangan tanpa adanya pengecualian dan alasan-alasan tertentu  adalah tidak boleh secara syar’i. Sebab hal ini bertentangan dengan aqidah dan syari’at Islam. Dan merupakan kesesatan yang nyata.[24]
Adapun pertentangannya  dengan aqidah Islam adalah bahwa seorang muslim diwajibkan menyerahkan urusan rezeki sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah:
((وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ. مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ))
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka agar mereka memberi makan kepada-Ku.” (QS: adz-Dzariyat: 56-57)
Barangsiapa membatasi keturunan dengan menggugurkan kandungan, maka sungguh ia telah melakukan tiga kejahatan itu atau sebagiannya. Dan barang siapa mencegah kehamilan dengan tanpa menggugurkannya maka dia mendapatkan dosa dari berburuk sangka kepada Allah. Sedangkan pertentangannya dengan hukum Islam adalah, bahwasanya Islam mencintai umat yang banyak. Dan pembatasan keturunan secara umum akan menyedikitkan jumlah yang akhirnya  akan berefek pada lemahnya kaum muslimin.[25]
Hal ini terbukti bahwa setelah orang-orang Eropa  memilih membatasi keturunan mereka dalam beberapa kurun waktu, mereka kembali dan menyerukan untuk memperbanyak keturunan setelah mereka menyadari bahwa membasi keturunan sangat berpengaruh pada lemahnya kekuatan pertahanan negara  disebabkan sedikitnya jumlah  penerus mereka. terlebih dari kalangan para pasukan, sementara peperangan selalu mengintai dan mencerai-berai mereka. maka musnahlah kekuatan besar mereka, sebagaimana yang telah diketahui.[26]
Mencegah kehamilan permanen atau sterilisasi[27] yang dikenal dalam bahasa arab dengan istilah at-ta’qim ad-da’im hukumnya sama. berdasarkan banyaknya dalil yang melarang kebiri.[28] Diantaranya, firman Allah,
((وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا))
“Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS: An-Nisa’: 119). 
Bahwasanya merubah ciptaan Allah adalah tipu daya dan misi setan kepada para pengikutnya. Dan hal itu adalah haram. sedangkan sterilisasi adalah bentuk dari merubah ciptaan, yaitu dengan menghilangkan kemampuan memiliki anak. meskipun sejatinya ia hanya sebagai fasilitas modern untuk tidak bertanasul, namun hukumnya tetap haram.[29] Imam an-Nawawi berkata, “pengebiran yang dilakukan terhadap manusia adalah haram, baik kepada anak kecil ataupun orang dewasa.”[30]
Juga tertera dalam sabda Rosulullah.
((حديث سعد بن أبي وقاص-رضي الله عنه- يقول: رَدَّ رَسُوْلُ الله -ص- عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنِ التَّبَتُّلَ، وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاخْتَصَيْنَا))
 “Rasulullah sholallahu alaihi wa salam membatah Utsman bin Madh’un rodhiyallahu anhu yang akan membujang, seandainya Beliau mengijinkan, maka kami pasti akan melakukan kebiri”. (HR: Muslim)[31] bukhari 5074.
Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa larangan ini menunjukkan atas pengharaman.[32]
Larangan ini juga berlaku pada pemakaian alat-alat modern yang digunakan untuk mencegah kehamilan permanen beserta segala motifnya,[33] kecuali karena pertimbangan medis yang mendesak.
Adapun keadaan dharurat yang mengharuskan pencegahan kehamilan permanen atau sterilisasi adalah ketika seorang wanita menderita suatu penyakit yang telah divonis oleh seorang dokter yang terpercaya. Yang apabila ia hamil dikhawatirkan akan berujung pada kematian.  Dan hal ini diperbolehkan ketika tidak didapati jalan lain atau metode pengobatan lain yang memiliki resiko lebih rendah.[34]

b)      KB dengan tujuan tanzhim
Lajnah I’dad al-Manahij universitas terbuka Amerika Serikat menetapkan pembolehan melakukan pencegahan kehamian sementara dengan tujuan menjarak satu kehamilan dengan kehamilan berikutnya atau menghentikannya untuk sementara pada waktu-waktu tertentu apabila dalam keadaan darurat. Seperti  apabila seorng ibu hamil maka akan melemahkannya dan membahayakan kesehatannya atau dengan pertimbangan ingin menyempurnakan penyusuan anak. Dengan alasan-alasan tersebut, diperbolehkan mencegah kehamilan sementara. namun tentunya atas keputusan dan pertimbangan kedua suami istri dan dengan metode yang dibolehkan oleh syar’i.[35]
Syaikh bin Bazz di dalam kitab fatwanya mengatakan[36], “tidak mengapa memakai alat kontrasepsi untuk mengatur jarak kelahiran  untuk menghindari kemudharatan. Akan tetapi, hal itu hendaknya dilakukan pada masa menyusui (tahun pertama dan kedua) hingga tidak menyebabkan kemudharatan untuk kehamilan berikutnya, juga agar tidak berefek buruk pada pendidikan anak-anaknya . jika kehamilan yang berurutan (dalam waktu dekat) memberikan kemudharatan pada pendidikan anak dan kesehatan dirinya, maka tidak mengapa mengatur jarak kehamilan satu atau dua tahun selama masa menyusui.
Dalam kitab al Islam Aqidah Wa Syariah,[37] syeikh Mahmud Syalthut  memberi ulasan dalam pembahasan mengatur jarak keturunan memulai dengan dalil dari Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
 “para ibu hendaklah menyusui anaknya selama dua tahun  yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. (QS. al-Baqarah: 233)
Ini adalah bimbingan Allah untuk para ibu, supaya mereka menyusui anak-anaknya dengan sempurna, yaitu 2 tahun penuh. Jika kedua orang tuanya telah bersepakat untuk menyapihnya kurang dari dua tahun, maka tidak mengapa jika tidak membahayakan anaknya.[38]
 Melalui ayat tersebut syari’at islam ingin memberitahukan bahwa masa menyusui yang ideal adalah 2 tahun. Dimana pada masa itu seorang ibu menyusukan anaknya secara sempurna dan bersih. Hal tersebut diperkuat dengan surat al-Ahqaf ayat 15:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا
“kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkan dengan susah payah pula. Masa mengandung sampai menyapihnya adalah selama 30 bulan.” (QS. al-Ahqaf: 15)
 Mencegah kehamilan dalam masa tersebut memberikan waktu yang cukup untuk istirahat bagi seorang ibu, dapat mengembalikan kekuatan dan vitalitas perempuan disebabkan hamil dan kepayahan melahirkan. Serta memberi waktu yang cukup luang untuk mendidik dan menumbuhkembangkan anak secara sungguh-sungguh dan giat dengan susu murni. Maka inilah yang merupakan esensi dari memberi jarak kelahiran.[39]
Imam Qurthubi di dalam tafsirnya mengatakan bahwa: jika hamilnya 6 bulan maka masa menyusuinya adalah 24 bulan, jika hamilnya 7 bulan maka masa menyusuinya adalah 23 bulan, jika hamilnya 8 bulan maka masa menyusuinya adalah 22 bulan dan seterusnya.[40]


Pada tahun 1953 M Lajnah Fatawa al-Azhar menetapkan bahwa penggunaan obat-obatan untuk mencegah kehamilan sementara tidaklah haram, sebagaimana pendapat Syafi’iyah. Terlebih apabila dihawatirkan kehamilan yang berturut-turut tanpa ada jeda normal akan membahayakan seorang ibu. berdasarkan firman Allah,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesusuahan bagimu..”(QS: Al-Baqarah: 185)
Berbeda apabila penggunaan obat tersebut untuk mencegah kehamilan permanen maka itu diharamkan.[41]
Syaikh Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa hukum mencegah kehamilan yang bersifat perorangan adalah makruh dan meninggalkannya lebih afdhal. Jika ia memiliki penghalang yang mengharuskannya melakukan hal itu, maka mencegah kehamilan mubah baginya, sebagai rushah[42] yang bersifat fardiyah (perorangan), Sebab di dalam fiqih Islam tidak ada rukhshah yang diberlaukan secara umum bagi setiap ummat dan setiap iklim, akan tetapi rukhshah itu berlaku atas perorangan[43] dan karena penerapan hukum fiqih yang bersifat umum akan berbeda antara satu orang dengan yang lain. Penerapannya sesuai keadaan setiap oknum. hal ini juga sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh al-Buthi.[44]





F.      KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum melakukan KB tergantung pada niat dan tujuannya. Jika melakukannya dengan tujuan membatasi jumlah anak maka hukumnya adalah haram. kecuali pada keadaan darurat yang mengharuskannya melakukan hal itu maka diperbolehkan.
Sedangkan mengatur jarak kelahiran untuk menghindari bahaya bagi dirinya dan anaknya atau untuk  memaksimalkan penyusuan anak dan pendidikannya, maka hal itu diperbolehkan untuknya. Namun apabila melakukannya dalam rangka bersantai-santai atau takut kemiskinan, maka hukumnya adalah haram.

G.    DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Tanzhim al-Usrah, cet.1, T.tp: Dar al-Fikri, 1976 M.
Al-Amanah al-Ammah Hai’ah Kibar al-Ulama bi al-Mamlukah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, Abhats Hai’ah Kibar al-Ulama, jild. 1, cet. 2, Riyadh: Dar az-Zahim, 2005 M.
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Diponegoro, 2004 M.
Badan koordinasi keluarga berencana nasional, sejarah perkembangan keluarga berencana dan program kependudukan,  jakarta 1981
Baz, bin, Abdul Azizi, Majmu’ Fatawa syaikh Abdul Aziz bin Bazz, jild. 21, cet. 1, Riyadh: Dar al-Qasim, 2004 M.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000 M).
Direktorat Teknologi informasi dan Dokumentasi badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional,  Kamus Istilah kependudukan dan Keluarga Berencana, 2011, hlm. 60.
Duwaisy, ad-, Ahmad, al-Fatawa al-Lajnatu ad-Da’imah, jild. 19, cet. 5, Riyadh : Dar al-Mu’ayyad, 2003 M.
Hasani, al-, Abdul Aziz bin as-Shadiq, Hukmu Tanzhim al-Usroh wa Tahdid an-Nasl, Ttp, tp, tt.
Husaini, al-, Muhammad, Tahdid an-Nasl Fikrotun Gharbiyyatun, Ttp, tp, tt.
Kairo: Maktabah Auladu syaikh Litturats, 2000 M, 
Katsir, ibnu,  Abil fida’ Isma’il Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’anul Adzim, jil 2, cet. 1,
Lajnah I’dad al-Manahij bi al-Jami’ah amrikiyyah al-Maftuhah, Fiqhu an-Nawazil,
Mahmud Syalthut, Al-Islam Aqidah Wa Syariah, cet. 3,  Kairo: Dar Al qalam, 1966.
Manshur,  Muhammad Khalid, al-Ahkam at-Tibbiyah al-Muta’allaqah bi an-Nisa fi al-Fiqh al-Islami, cet. 2, Yordania: Dar an-Nafa’is, 1999 M.
Muhammad Said Ramadhan Buthi, al-, Mas’alah Tahdid an-Nasl,  Maktabah al-Farabi.
Naqib, an-, Husain Abdul Hamid, Hukmu Tanzhim al-Usroh wa Tahdid an-Nasl.
nawawi,  An-, Syarh an-Nawawi, jild. 5, cet. 4, Kairo: Dar al-Hadits, 2001 M.
Qayyim, Ibnu, ‘Aun al-Ma’bud, jild. 4, Kairo: Dar al-Hadits, 2001 M, no. Hadits. 2049.   
 Qurthubi, Al-, Muhammad bin Ahmad Al Anshari, al jami’ Li Ahkam al-Qur’an, jild. 8, cet. 3, Beirut: Dar kutub Al ‘ilmiyah, 2010 M.
Salus, as-, Ali Ahmad, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, cet. 7, Qatar: Dar ats-Tsaqafah, tt.
Sunan an-Nasa’i, cet.1, Riyadh : Maktabah al-Ma’arif li an-Nasyar, tt, Hadits no. 3227.




[1] Direktorat  Teknologi informasi dan Dokumentasi badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional,  Kamus Istilah kependudukan dan Keluarga Berencana, 2011, hlm. 60.
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000 M), hlm. 536.
[3] BKKBN.
[4] Hukmu Tanzhim al-Usroh wa Tahdid an-Nasl, hlm. 8.
[5] Badan koordinasi keluarga berencana nasional, sejarah perkembangan keluarga berencana dan program kependudukan, hal. 11, jakarta 1981
[6] Dr. Ali Ahmad as-Salus, Maushu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, cet. 7, (Maktabah Dar Al-Qur’an), hlm. 42. Dan Abu Zahrah, Tanzhim al-Usrah, cet.1, (T.tp: Dar al-Fikri, 1976 M), hlm. 101.
[7] Ahmad ad-Duwaisy, al-Fatawa al-Lajnatu ad-Da’imah, jild. 19, cet. 5, (Riyadh : Dar al-Mu’ayyad, 2003 M), hlm. 300. Abdul Aziz bin as-Shadiq al-Hasani, Hukmu Tanzhim al-Usroh wa Tahdid an-Nasl, hlm. 7.
[8] Dr. Husain Abd al-Hamid an-Naqib dan Ust. Musa’id, Hukmu al-Islam fi Tanzhimi an-Nasli wa Tahdidihi, hlm. 4.
[9] Husain an-Naqib, Hukmu al-Islam fi Tanzhimi..., hlm. 4 dan  Lajnah I’dad al-Manahij bi al-Jami’ah amrikiyyah al-Maftuhah, Fiqhu an-Nawazil, hlm. 87. Dan al-Amanah al-Ammah Hai’ah Kibar al-Ulama bi al-Mamlukah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, Abhats Hai’ah Kibar al-Ulama, jild. 1, cet. 2, (Riyadh: Dar az-Zahim, 2005 M), hlm. 1214
[10] Dr. Husain Abdul Hamid an-Naqib, Hukmu al-Islam fi Tanzhim an-Nasl..., hlm. 5
[11] Ibid.
[12] Sunan an-Nasa’i, cet.1 ( Riyadh : Maktabah al-Ma’arif li an-Nasyar, tt), hlm. 499, Hadits no. 3227, dan Ibnu Qayyim, ‘Aun al-Ma’bud, jild. 4, (Kairo: Dar al-Hadits, 2001 M), hlm. 154, no. Hadits. 2049.  Syaikh al-Bani mengomentari, kedudukan hadits ini, Hadits Hasan Shahih.
[13] Tanasul adalah berketurunan atau memperbanyak keturunan.
[14] Dr. Husain Abd al-Hamid an-Naqib dan Ust. Musa’id, Hukmu al-Islam fi Tanzhimi an-Nasli wa Tahdidihi, hlm. 7
[15] Lawan kata dari muqayyad. Yaitu hukum secara umum tanpa melihat dharurat yang bisa mengubah penerapan hukum aslinya.
[16] Lajnah I’dad al-Manahij bi al-Jami’ah Amrikiyyah al-Maftuhah, Fiqhu an-Nawazil, hlm. 113.
[17] Abdul Aziz bin as-Shadiq al-Hasani, Hukmu Tanzhim al-Usroh wa Tahdid an-Nasl, hlm. 9.
[18] Lajnah I’dad al-Manahij, Fiqhu an-Nawazil, hlm. 113.
[19] Ahmad ad-Duwaisy, al-Fatawa al-Lajnah..., jild. 19, cet. 5, hlm. 300.
[20] Dr. Ali Ahmad as-Salus, Maushu’ah al-Qadhaya.., cet. 7, (Maktabah Dar Al-Qur’an), hlm. 46.
[21] Abdul Azizi bin Shadiq, Hukmu Tanzhim al-Usrah..., hlm. ..............
[22] Lajnah I’dad al-Manahij bi al-Jami’ah amrikiyyah al-Maftuhah, Fiqhu an-Nawazil, hlm. 97.
[23] Ibid. Hal. 98
[24] Fiqh an-Nawazil, hlm. 98
[25] Hukmu Tanzhim al-Usrah wa Tahdid an-Nasl, hlm. 9
[26] Ibid.
[27] Sterilisasi adalah salah satu cara yang hari ini digunakan untuk membatasi keturunan. 
[28] al-Amanah al-Ammah Hai’ah Kibar al-Ulama bi al-Mamlukah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, Abhats Hai’ah Kibar..., jild. 1, cet. 2, (Riyadh: Dar az-Zahim, 2005 M), hlm. 1237
[28] Dr. Husain Abdul Hamid an-Naqib, Hukmu al-Islam fi
[29] Dr. Muhammad Khalid Manshur, al-Ahkam at-Tibbiyah al-Muta’allaqah bi an-Nisa fi al-Fiqh al-Islami, cet. 2, (Yordania: Dar an-Nafa’is, 1999 M), hlm. 119-121.
[30] An-nawawi, Syarh an-Nawawi, jild. 5, cet. 4, (Kairo: Dar al-Hadits, 2001 M), hlm. 187.
[31] Ibid, hlm. 187, no. Hadits. 1402.
[32] Lihat Syarh an-Nawawi jild. 9, hlm. 191.
[33] Dr. Muhammad Khalid Manshur, al-Ahkam at-Tibbiyah..., hlm. 120-121.
[34] Dr. Muhammad Khalid Manshur, al-Ahkam at-Tibbiyah..., hlm. 125-126.
[35] Lajnah I’dad al-Manahij, Fiqhu an-Nawazil, hlm. 114. Dan Ahmad ad-Duwaisy, al-Fatawa al-Lajnah..., jild. 19, cet. 5, hlm. 300.
[36] Lihat Majmu’ Fatawa syaikh Abdul Aziz bin Bazz, jild. 21, cet. 1, (Riyadh: Dar al-Qasim, 2004 M), hlm. 191.
[37] Syaikh Mahmud Syalthut, Al Islam Aqidah Wa Syariah, (Kairo: Dar Al qalam, 1966), cet ke-3,  hlm: 220-221
[38] I’maduddin Abil fida’ Isma’il ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’anul Adzim, (Kairo: Maktabah Auladu syaikh Litturats, 2000) jil 2, cet ke-1,  hlm: 373
[39] Ibid, hlm: 505
[40] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Anshari Al Qurthubi, Al jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Beirut: Dar kutub Al ‘ilmiyah, 2010 ), cet ke-3,  jil 8, hlm: 128
[41] Husain Abdul Hamid an-naqib, Hukmu al-Islam.... hlm. 7
[42] Bentuk keringanan.
[43] Muhammad Abu Zahrah, tanzhim al-Usroti, hlm. 107. Dan Ali Muhammad as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, cet. 7, (Qatar: Dar ats-Tsaqafah, tt), hlm. 46.
[44] Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Mas’alah Tahdid an-Nasl,  (Maktabah al-Farabi), hlm. 20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khitbah Melalui Media Komunikasi

HUKUM MENERIMA WAKAF DARI ORANG KAFIR

Cara Mengganti Email Blog di blogger