AQIQAH MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

AQIQAH MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
A.    PENDAHULUAN
Anak merupakan salah satu karunia yang diberikan oleh Allah Subhânahu wa Ta’âla. Harta dunia yang dimiliki seorang hamba terasa belum lengkap tanpa kehadiran seorang anak. Anak juga merupakan salah satu perhiasan hidup yang paling indah. Sebagaimana firman Allah Subhânahu wa Ta’âla,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِيْنَ....
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan dan anak-anak”. (QS. Ali Imran:14)
 Oleh karena itu, wajib bagi kedua orang tua untuk mensyukuri, merawat, dan menjaganya dengan sebaik mungkin, agar sang buah hati bisa menjadi harta berharga di dunia dan investasi pahala kelak di akhirat.Salah satu praktek ibadah dalam rangka menyambut lahirnnya sang buah hati adalah aqiqah. Disebutkan dalam hadits yang shahih,
كُلُّ غُلامٍ مرَتهِنٌ بِعَقِيقَتِهِ. تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السّابِعِ ,وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ, وَيُسَمَّى
 “Setiap anak tergadai oleh aqiqahnya, hingga disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh dari kelahirannya dan dicukur rambutnya, serta diberi nama.” HR. Ibnu Majah [1]
Karena itu, makalah ini hadir untuk membahas secara khusus tentang hal ini.
B.     PENGERTIAN AQIQAH
Secara bahasa, kata aqiqah diambil dari kata al ‘aqq yang berarti memecah dan memotong.[2] Pada dasarnya, ia adalah rambut yang terdapat pada kepala bayi ketika keluar dari rahim ibunya. Hewan sembelihan itu dinamakan dengan aqiqah karena disembelih pada hari mencukur rambut bayi. [3]
Sedangkan secara istilah, aqiqah adalah menyembelih kambing untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla dengan niat ibadah dan disertai syarat-syarat khusus.[4] Diartikan juga dengan menyembelih kambing pada hari ke tujuh dari hari kelahirannya.[5]
C.    SEJARAH AQIQAH
Ritual aqiqah telah dikenal oleh bangsa Arab sebelum Islam. Hanya saja, bentuk
pelaksanaannya berbeda dengan yang disyariatkan dalam Islam. Hal ini  sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Buraidah yang mengatakan:
كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ، ذَبَحَ شَاةً ، وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا ، فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِالإِسْلاَمِ ، كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً ، وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ ، وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ.
“Pada zaman jahiliyah, apabila kami mendapat seorang anak laki-laki maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur kepala bayi tersebut, lalu kepalanya kami usap dengan darah kambing yang disembelih.” (HR. Ibnu Hibban)[6]
Aqiqah juga dikenal dalam ajaran Ahli Kitab, namun tidak semua anak diaqiqahkan. Hanya anak laki-laki saja yang mendapatkan keistimewaan ini. Hal ini berangkat dari keyakinan mereka yang mendiskriminasi perempuan. Setelah Islam datang, perkara-perkara batil dalam ibadah aqiqah dihapus. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menyuruh memberi parfum kasturi pada kepala bayi, sebagai ganti dari melumurkan darah pada kepala bayi. Beliau juga menyuruh untuk melaksanakan aqiqah pada semua anak, baik laki-laki maupun perempuan untuk menghapus diskriminasi atas anak perempuan.[7]
Jika kita melihat sejarah aqiqah, maka kita dapat memahami bahwa tradisi ibadah aqiqah adalah suatu tradisi yang diterima Islam. Hal itu disebabkan banyaknya hikmah yang terkandung di dalamnya. Seperti menampakkan kegembiraan atas nikmat yang diberikan kepadanya.[8]
D.    HUKUM AQIQAH
Ada tiga pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fikih dan imam mujtahid tentang disyariatkannya aqiqah, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Aqiqah hukumnya sunnah yang dianjurkan menurut Jumhur.[9] Ulama yang berpendapat demikian di antaranya adalah Imam Malik, Ulama Madinah, Imam Syafi’i beserta para pengikutnya[10], Imam Ahmad,[11] Ishaq, Abu Tsur, dan sebagian besar ulama ahli fikih dan mujtahid.[12] Mereka juga menolak pendapat bahwa aqiqah itu wajib, berdasarkan hal-hal berikut:
a.       Jika aqiqah itu wajib, tentu kewajibannya itu akan dimaklumi di dalam agama. Karena yang demikian itu akan menjadi sebuah tuntutan yang berlaku secara umum. Dan tentu Rasulullah akan menjelaskan wajibnya kepada umat dengan suatu keterangan yang diperkuat dengan hujjah, dan tentu tidak ada alasan untuk meninggalkannya.
b.      Rasulullah telah mengaitkan persoalan aqiqah ini dengan rasa suka dari orang yang melakukannya. Dalil yang mereka kemukakan adalah:
مَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ
“Siapa di antara kalian hendak menyembelih untuk anaknya maka hendaknya ia melakukannya”
Dari hadits tersebut, dapat dipahami bahwa aqiqah itu hanya amalan yang dianjurkan kepada orang yang mau melaksanakannya saja. Terbukti karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menggunakan kata مَنْ أَحَبَّ dan diakhiri dengan فَلْيَفْعَلْ, kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam juga mengamalkannya. Jadi, hadits tersebut menunjukan sunnahnya aqiqah.[13]
Sedangkan menurut Madzhab Zhahiri, aqiqah hukumnya wajib.[14] Ulama lain yang berpendapat demikian adalah Imam Hasan Al- Bashri dan Al-Laits bin Sa’ad. Dalil yang mereka kemukakan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hasan dari Samurah bin Jundab dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau bersabda,
كُلّ غُلاَمٍ مرَتهِنٌ بِعَقِيقَتِهِ. تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السّابِعِ ,وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ, وَيُسَمَّى
“Setiap anak tergadai oleh aqiqahnya, hingga disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh dari kelahiran dan dicukur rambutnya, serta diberi nama.” (HR. Ibnu Majah)     [15]
 Maksud dari “tergadai” di sini adalah jika anak itu diaqiqahi, maka akan terlepas darinya gangguan jin sewaktu kecilnya, dan dihindarkan darinya marabahaya. Ada juga yang mengatakan agar orang tua anak mendapat syafaat dari anaknya kelak.[16]
Dari Sulaiman bin ‘Amir Adz-Dhaby, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَةٌ ، فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا ، وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى
“Bersama kelahiran seorang anak laki-laki ada kewajiban aqiqah, dialirkan atas kelahirannya darah hewan kurban, dan dihilangkan kotoran yang ada padanya.” (HR. At-Tirmidzi)[17]
Makna dihilangkan kotoran adalah mencukur rambut bayi, atau menghilangkan semua kotoran, ataupun gangguan yang ada.[18]
Dari hadits tersebut, dapat dipahami bahwa anak yang baru lahir itu tertahan tidak dapat memberikan syafaat kepada kedua orangtuanya sampai dia diaqiqahkan. Hal ini menjelaskan bahwa aqiqah hukumnya wajib.[19]
Ada juga pendapat yang mengingkari disyariatkannya aqiqah. Ulama yang berpendapat demikian adalah ulama Madzhab Hanafi.[20] Dalil yang mereka kemukakan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Baihaqi dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia sang kakek berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang aqiqah, lantas beliau bersabda,
لاَ أُحِبُّ الْعُقُوْقَ وَكَأَنَّهُ كَرِهَ الإِسْمَ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللّهِ يَنْسُكُ أَحَدُنَا عَنْ وَلَدِهِ ؟ فَقَالَ مَنْ أَحَبّ مِنْكُمْ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنْ الْغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ وصَحَّ عَنْهُ مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا عَنْ الْغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
 "Aku tidak menyukai al-‘uquq. Sepertinya Rasulullah tidak menyukai dari segi namanya saja. Lantas para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tujuan kami adalah melakukan ibadah dalam rangka menyambut kelahiran anak kami? Kemudian beliau bersabda, ‘Siapa di antara kalian hendak menyembelih untuk anaknya maka hendaknya ia melakukannya. Untuk anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing sementara untuk anak perempuan satu ekor saja.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An-Nasa’i) [21]
Imam Malik menyebutkan dalam kitabnya Al-Muwatha’ bahwa masalah hukum aqiqah adalah perkara yang tidak diperdebatkan di kalangan mereka.[22]
E.     HIKMAH DISYARIATKANNYA AQIQAH
Setiap perintah yang datang dari Allah Subhânahu wa Ta’âla dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam  pastilah mengandung hikmah dan keutamaan. Di antara hikmah aqiqah adalah:
1.      Aqiqah adalah untuk mensyukuri nikmat Allah Subhânahu wa Ta’âla karena telah dikaruniai seorang anak.
2.      Aqiqah merupakan pembiasaan diri bersikap dermawan serta dalam rangka membahagiakan anggota keluarga, karib kerabat, dan kawan-kawan dengan menghimpun mereka pada sebuah hidangan, sehingga akan bersemi rasa kasih sayang.
3.      Aqiqah merupakan salah satu sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah Allah Subhânahu wa Ta’âla berikan berupa kelahiran seorang anak.
4.      Aqiqah merupakan tebusan untuk menebus sang bayi dari segala macam musibah dan malapetaka. Allah Subhânahu wa Ta’âla menebus Ismail dengan seekor domba yang disembelih, sehingga peristiwa tersebut menjadi sunnah yang masih dilaksanakan oleh anak cucu Ismail. Ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam  diutus, sunnah tersebut tetap beliau lestarikan.
5.      Aqiqah berfungsi untuk membuka ketertahanan sang bayi sehingga ia dapat memberi syafa’at kepada kedua orangtuanya,  sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Selain itu, aqiqah juga  merupakan sebuah acara keislaman yang mengandung nilai-nilai sosial.
6.      Aqiqah merupakan simbol perwujudan seruan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  yang mulia.[23]
F.   WAKTU PELAKSANAAN AQIQAH
Secara umum, para ulama telah sepakat bahwa aqiqah adalah perkara yang disyariatkan. Namun, mereka berbeda pendapat  tentang waktu pelaksanaannya. [24]
Menurut Jumhur ulama, hewan aqiqah hendaknya disembelih pada hari ke tujuh kelahiran bayi, berdasarkan hadits “… disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh dari kelahirannya…” [25] , yaitu dihitung mulai saat kelahiran. Jika si bayi lahir pada malam hari, maka tujuh hari tadi dihitung mulai dari keesokan harinya.[26]
Sementara itu, menurut madzhab Maliki hendaklah disembelih pada hari ke tujuh kelahiran bayi, jika ia meninggal sebelum hari ke tujuh maka aqiqah tersebut gugur.[27]
Jika si bayi lahir sebelum fajar atau bersamaan dengan terbitnya fajar, maka hari tersebut dihitung sebagai hari pertama.[28] Adapun jika ia lahir sesudah fajar atau siang hari, maka hari tersebut tidak dihitung sebagai hari pertama.[29] Akan tetapi menurut versi lain dalam madzhab Maliki, baru dihitung sebagai hari pertama jika si bayi lahir sebelum tergelincirnya matahari. Adapun waktu penyembelihan, maka disunnahkan di antara waktu dhuha hingga tergelincirnya matahari, dan tidak disunnahkan dilakukan pada malam hari.[30]
Sementara itu, madzhab Syafi’i dan Hanbali menegaskan bahwa jika aqiqah dilakukan sebelum atau sesudah hari ke tujuh, maka tetap dibolehkan.[31] Sebagaimana hadits   
dari Buraidah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اَلْعَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ، أَوْ ِلأَرْبَعَ عَشَرَةَ، أَوْ ِلإِحْدَى وَعِشْرِيْنَ    
“Aqiqah disembelih pada hari ke tujuh atau hari ke empat belas atau hari ke dua puluh satu.” (HR. Baihaqi)[32]
G.    SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB MELANGSUNGKAN AQIQAH
Menurut madzhab Syafi’i Orang yang paling utama melaksanakan aqiqah bagi anak  adalah bapaknya, atau orang yang berkewajiban untuk menafkahi anak tersebut. Jika salah seorang dari kerabat seperti kakek, paman, dan sebagainya ingin mengaqiqahkan anak tersebut, hal itu tidak mengapa.[33] Ini sesuai dengan keumuman perintah aqiqah dalam sabda Rasulullah:
تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ
“...hingga disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh dari kelahiran.” (HR. Ibnu Majah)     [34]
Ibnu Hajar berkata,  “Dalam hadits tersebut, Rasulullah menggunakan kalimat pasif (disembelih). Beliau tidak menyebutkan subjeknya, ini menunjukkan tidak ditentukannya siapa yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan aqiqah. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Rasulullah mengaqiqahi Hasan dan Husain.[35]
Menurut madzhab Maliki dan Hanbali, disebutkan juga bahwa tidak dibolehkan melakukan aqiqah selain ayah si bayi, sebagaimana tidak dibolehkan bagi seseorang mengaqiqahkan dirinya sendiri ketika sudah besar. Alasannya, aqiqah disyariatkan bagi sang ayah, sehingga tidak boleh bagi orang lain melakukannya. [36]
Akan tetapi, sekelompok ulama madzhab Hanbali juga mengemukakan pendapat mengenai  seseorang yang mengaqiqahkan dirinya sendiri. Selain itu, aqiqah juga tidak khusus pada waktu si anak masih kecil saja, tetapi sang ayah boleh saja mengaqiqahi anaknya sekalipun telah baligh. Sebab, tidak ada batasan untuk melakukan aqiqah.[37]
H.  KRITERIA HEWAN AQIQAH
1)      Jenis hewan yang akan disembelih sebagai aqiqah, usianya, serta sifat-sifatnya
Fuqaha’  berbeda pendapat mengenai ketentuan jenis hewan yang dijadikan aqiqah. Pendapat Jumhur mengatakan bahwa hewan aqiqah ialah kambing dan diperbolehkan juga hewan ternak lain yaitu sapi dan unta. Sedangkan pendapat lain yaitu madzhab Zhahiriyah, sebagian Malikiyah, dan sebagian Hanabilah mengatakan bahwa hewan aqiqah hanya jenis kambing saja bukan selainnya. Dalam hal ini, pendapat yang rajih adalah pendapat Jumhur yaitu selain kambing diperbolehkan juga sapi dan unta. Akan tetapi, yang lebih utama dan sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah ialah dengan jenis kambing.[38]
Ketentuan usia hewan aqiqah sama dengan aturan yang berlaku pada hewan kurban. Yaitu untuk kambing kacangan usia 2 tahun memasuki 3 tahun dan untuk domba usia 1 tahun memasuki  2 tahun. Diperbolehkan juga peranakan dari domba, akan tetapi tidak diperbolehkan peranakan kambing kacangan. Untuk yang memperbolehkan beraqiqah dengan unta dan sapi, maka usia unta ialah 5 tahun memasuki 6 tahun hitungan Qamariyah, sedangkan sapi usia 2 tahun. Adapun peranakan unta dan sapi, maka tidak diperbolehkan.[39]
Sifat hewan aqiqah yaitu tanpa cacat sebagaimana hewan kurban yang tidak boleh cacat.[40] Seperti tidak boleh kurus kering, gila, bingung, telinganya dan lidahnya terputus meskipun sedikit, puting susunya putus, tanduknya pecah, sedangkan kalau bawaan maka diperbolehkan, dan sebagainya.[41]
2)      Jumlah hewan yang akan disembelih dalam aqiqah
Disunnahkan untuk menyembelih 2 ekor kambing untuk aqiqah anak laki-laki, dan 1 ekor kambing untuk anak perempuan. Inilah pendapat yang diambil oleh Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, Abu Dawud, dan Ahmad.[42] Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ummu Kurz al-Ka’biyyah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,  beliau bersabda:
عَنِ الغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ, وَ عَنِ الجَارِيَةِ شَاةٌ
 Untuk anak laki-laki 2 ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan 1 ekor kambing”. (HR. Ahmad)[43]
Jika ternyata hanya menyembelih 1 ekor kambing saja, baik untuk kelahiran laki-laki maupun perempuan,  maka menurut mereka hukumnya boleh.[44] Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata: “Rasulullah meng-aqiqahkan Hasan dan Husain satu domba jantan, satu domba jantan.”[45]
Adapun Imam Malik, beliau berpendapat bahwa baik anak laki-laki maupun perempuan  aqiqahnya sama-sama 1 ekor kambing. Dalil yang beliau gunakan adalah hadits yang semakna dengan periwayatan Ibnu Abbas tentang perbuatan Rasulullah ketika meng-aqiqahkan Hasan dan Husein sebagaimana di atas.[46]
Dalam hal ini, pendapat yang rajih adalah pendapat Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, Abu Dawud, dan Ahmad, yang mana disyariatkannya aqiqah adalah sebagai wujud kebahagiaan atas kelahiran anak. Karena kebahagiaan atas kelahiran anak laki-laki lebih besar dibandingkan anak perempuan, maka penyembelihan hewan aqiqahnya pun juga lebih banyak.[47] Alasan lainnya ialah karena Allah Subhânahu wa Ta’âla telah melebihkan laki-laki atas perempuan. Dan dengan kelebihan inilah, syariat Islam menyamakan jumlah seorang laki-laki setara dengan jumlah dua orang perempuan. Di antaranya dalam hal persaksian, warisan, diyat, begitu pula dalam permasalahan aqiqah ini.[48] Sebagaimana dalam firman-Nya,
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأُنْثَى
”…dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan….” (QS. Ali Imran: 36)
Mengenai aqiqah untuk anak kembar atau  anak lebih dari satu, maka sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saat mengaqiqahkan kedua cucunya, yaitu masing-masing anak ada aqiqahnya. Hal ini senada dengan jawaban Imam Malik saat ditanya tentang seseorang yang melahirkan bayi kembar dalam 1 perut, “Apakah cukup diaqiqahkan 1 ekor saja?” Beliau pun menjawab: “Tidak, akan tetapi untuk masing-masing anak itu satu ekor.”[49]
Pada intinya, banyaknya aqiqah itu tergantung dengan banyaknya anak dan tidak cukup hanya dengan 1 aqiqah saja. Jika seandainya seseorang hanya menginginkan banyak anak dengan 1 aqiqah saja, maka  itu tidak cukup, hal ini sebagaimana yang ditetapkan oleh Al-‘Alamah Ibnu Hajar.[50] Akan tetapi menurut pendapat yang sharih dari Al-‘Alamah Ar-Ramly[51] bahwasanya beliau menganggap hanya dengan 1 aqiqah saja sudah cukup. Namun, yang lebih utama dan merupakan pendapat mu’tamad adalah dengan mengaqiqahkan masing-masing. Kelonggaran yang diberikan tadi ialah ketika penghasilan yang didapat terbatas, atau ketika harga semakin mahal dan naik.[52]
3)      Hukum daging dan kulit hewan aqiqah
Hukum daging aqiqah seperti daging kurban, dalam artian sebagiannya boleh dimakan dan sebagiannya lagi disedekahkan. Tidak boleh sama sekali untuk menjualnya.[53] Malikiyah, Syafi’iyah, dan sebagian Hanabilah membolehkan untuk membagikannya dalam kondisi masih mentah, namun yang lebih utama ialah sudah dimasak karena termasuk yang disunnahkan.[54]
Sedangkan Al-Khallal[55] menyebutkan  bahwa  di antara hal-hal  yang disunnahkan dalam aqiqah adalah membagikannya dalam keadaan sudah dimasak dan bukan dalam kondisi daging yang masih mentah. Selain karena lebih mencukupi orang-orang miskin, dan para tetangga, membagikannya dalam keadaan sudah dimasak  akan menambah kebaikan serta sebagai bentuk syukur atas nikmat yang diterima. Memberikannya dalam keadaan sudah dimasak,  juga berarti membuat mereka langsung bisa menikmatinya tanpa membuat mereka harus bersusah payah dahulu untuk memasaknya. Oleh karena itu, Imam Ahmad berkata,” …Setiap makanan yang dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur, semuanya dengan cara memasaknya.” [56]
Menurut madzhab Malikiyah, makruh hukumnya mengadakan aqiqah dalam bentuk perayaan di mana orang-orang diundang menghadirinya. Sedangkan mematahkan tulang hewan aqiqah menurut mereka hukumnya boleh, namun tidak disunnahkan. Sebaliknya, menurut pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah diperbolehkan mengadakan perayaan aqiqah, sebagaimana tidak makruh hukumnya mematahkan tulang hewan itu, dikarenakan tidak ada larangan yang spesifik tentang hal tersebut. Adapun tindakan yang lebih dianjurkan adalah memisah-misahkan organ tubuh hewan itu pada bagian persendiannya dan tanpa mematahkan tulangnya. [57]
Dalam madzhab Hanabilah, dianjurkan juga untuk memberikan bagian dari daging aqiqah itu kepada orang yang membantu kelahiran bidan/dukun beranak.[58] Ini berdasarkan hadits mursal[59] yang diriwayatkan dari Abu Dawud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ketika hari aqiqah untuk Hasan dan Husain yang diadakan oleh Fathimah,
أَنْ يَبْعَثُوْا إِلَى الْقاَبِلِ بِرِجْلٍ وِ كُلُوْا وَ أَطْعِمُوْا وَلاَ تُكْسِرُوْا
“Hendaklah  kalian  mengirimkan  kaki hewan  itu  kepada  orang   yang   membantu kelahiran    bidan/dukun beranak.    Selanjutnya,  makanlah, berilah   makan  orang  lain dengannya, dan janganlah mematahkan tulang hewan itu.” (HR. Abu Dawud)[60]
Dengan demikian, perbedaan antara aqiqah dan kurban adalah bahwa dalam aqiqah disunnahkan memasak dagingnya, dianjurkan tidak mematahkan tulangnya, serta hendaklah menghadiahkan kaki hewan itu kepada orang yang membantu dalam kelahiran dalam kondisi mentah tanpa dimasak. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Fathimah Radhiyallahu ‘Anha ketika diperintah oleh Rasulullah untuk melakukannya, seperti disebutkan dalam riwayat Al-Hakim.[61]
I.       DI ANTARA PERMASALAHAN-PERMASALAHAN TENTANG aqiqah
1.      Menggabungkan niat aqiqah dengan kurban
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa apabila hari penyembelihan hewan kurban bertepatan dengan hari aqiqah, maka cukup menggabungkan keduanya dengan satu penyembelihan saja. Hal ini sebagaimana ketika hari ‘ied bersamaan dengan hari jum’at, maka cukup dengan satu kali mandi saja.[62]
2.         Aqiqah  orang dewasa
Ulama’ berbeda pendapat mengenai aqiqah setelah usia baligh. Sebagian ada yang tetap mewajibkannya dan sebagian lagi ada yang menganggap bahwa kewajiban atau kesunnahan menyembelih  hewan aqiqah menjadi gugur dari diri orang tua anak tersebut. Mayoritas ulama’ yang menghukumi aqiqah itu sunnah yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengaitkan pelaksanaannya dengan satu syarat atau satu sifat, yaitu sebelum usia baligh. Al-ghulâm adalah anak laki-laki yang belum baligh, sedangkan al-jâriyah yaitu anak perempuan yang belum baligh.[63]
Imam Ahmad menegaskan bahwa tidak ada hadits shahih yang menjelaskan aqiqah untuk orang dewasa. Pada dasarnya, tidak ada perintah atau anjuran untuk melaksanakan aqiqah bagi seorang anak yang telah melewati usia baligh. Meski demikian, jika ada orang yang mengaqiqahi dirinya sendiri setelah dewasa, Imam Ahmad tidak memakruhkannya.
3.      Aqiqah anak zina
Anak zina tetap diaqiqahi sebagaimana anak-anak pada umumnya. Al-Adzra’i berkata, “Termasuk dalam keumuman hadits yang mensunnahkan aqiqah ialah aqiqah bagi anak zina oleh seseorang yang berkewajiban atas nafkah si anak. Dapat dipahami bahwa disunnahkan atas ibunya untuk mengaqiqahi anak hasil zinanya. Hal ini dilakukan jika dirasa tidak akan menambah aibnya.[64]
J.      KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dengan pemaparan makalah di atas, penulis menyimpulkan bahwa:
1.      Hukum aqiqah adalah sunnah yang dianjurkan menurut jumhur dan fuqaha’. aqiqah adalah kambing yang disembelih untuk anak yang baru lahir. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam  telah mengaqiqahkan Hasan dan Husain.
2.      Hukum aqiqah tidak wajib, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman ibn Abu Sa’id dari ayahnya bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wasallam  pernah ditanya tentang aqiqah, kemudian beliau bersabda, ‘Aku tidak menyukai al-‘uquq. ‘Siapa di antara kalian hendak menyembelih untuk anaknya maka hendaknya ia melakukannya.”
3.      Dalam hadits ini, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam menjelaskan bahwa beliau tidak suka al uquq maka dapat ditarik kesimpulan bahwa aqiqah itu tidak wajib karena aqiqah adalah menyembelih kambing tanpa sebab nazar dan tindak kriminal.
4.    Ulama’ bersepakat bahwa jenis hewan aqiqah yang paling utama adalah  jenis kambing, dan mereka berselisih akan pembolehan aqiqah dengan  sapi dan unta.
5.    Secara umum, ulama’ bersepakat bahwa ketentuan usia dan sifat hewan aqiqah sama dengan hewan kurban.
6.    Perbedaan antara aqiqah dan kurban adalah bahwa dalam aqiqah disunnahkan memasak dagingnya, dianjurkan tidak mematahkan tulangnya, serta hendaklah menghadiahkan kaki hewan itu kepada orang yang membantu dalam kelahiran dalam kondisi mentah tanpa dimasak.
Demikian makalah yang bisa penulis paparkan, semoga dapat membantu kita semua dalam mengerti dan memahami permasalahan penting terkait syariat aqiqah ini. Wallahu A’lam bish Shawab.









DAFTAR PUSTAKA
‘Adawi,Al-, Musthafa,  Fiqhu Tarbiyatul Abna’, cet-1, tt: Dar Majid ‘Usairi, 1998.
‘Ulwan, Nashih, Abdullah, Tarbiyatul Aulad fi Islam, jld. 1 ttp.: Darussalam, 1992
Abdurrahman, Jamâl, Athfâlul Muslimîn, cet-7, Makkah: Dar Thayyibah Al-Khudra’, 2004.
Abu Dawud, Al-Imam,  Al-Marâsil, cet. ke- 1, Libanon: Dâr Al-Qolam, 1986.
Adib, Muhammad, Ahkamul Udhiyah wal aqiqah wat Tadzkiyah, ttp.: t.p., t.t..
Ahmad, Al-Imam, Musnad  Al-Imam Ahmad bin Hambal , jild. 45, cet. ke-1, Beirut: Muasasah ar-Risalah, 2001.
Ahmad, Sahlan, Panduan Ringkas Fiqih aqiqah, Solo: Najah Press, t.t.
Al-Qur’an Al-Karim.
Anas, bin Malik, Al-Muwatha’, cet-1, Beirut: Darul Fikri, 2011.
Azazi,Al-, Abu Abdurrahman Adl bin Yusuf, Tamamul Minnah, jld. 4, cet-2, Iskandariyah: Darul Aqidah, 2009.
Baihaqi,Al-, Sunan Kubra, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Bauqiry, Al-, Abdullah, Ahkamul Janin wa Ath-Thifli fii Al-Fiqh Al-Islamy, jild. 1, ttp.: t.p., 1990.
Faris, Ibnu, Mu’jam Maqayisyil Lughah, tt: t.p, t.t.
Fauzan, Al-, Shalih,  Al-Mulakhos Al-Fiqhi, jld. 1, cet-2, Iskandariyah: Darul Aqidah, 2009.
Jauziyah,Al-, Ibnu Qayyim, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, tt: Darul Ilmi Al-Fawaid, t.t.
Mawardi, Al-,  Al-Hawi Fi Fiqhi Asy-Syafi’i, jld. 15, cet-1, ttp.: Dar Kutubul Ilmiyah, 1994 M
Nawawi, An-, Imam Muhyiddin,  Al-majmu’ Syarh Muhadzdzab, jld. 9 Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011.
Qazwini ,Al-,  bin Yazid Abu Abdillah Muhammad, Sunan Ibnu Majah, jld. 2 Beirut: Darul Fikri, 2010.
Qudamah, Ibnu , Al-Mughni,  jld. 9
Rusyd, Ibnu, Bidayah Al-Mujatahid wa Nihayah Al-Muqtashid, jild. 1 , cet. ke-6, Beirut: DÂr al Ma’rifah, 1982.
Saurah, bin Isa, Abu Isa Muhammad bin, Sunan Tirmidzi, jld. 3, Beirut: Darul Fikri, 2009
Sudaisi,As-, Abdullah bin Abdul Aziz, Ahkamul aqiqah, tt: t.p, t.t.
Syafi’i, Asy-, Muhammad bin Idris, Al-Umm, jld. 3, cet-1, ttp.: Darul Wafa,2001.
Syirbini, Asy-, Al-Khathib Mughni Al-Muhtaj, jild. 4, cet. ke-1, Beirut: Darul Ma’rifah, 1997.
Thabari, Ath-, Abul Qasim, Mu’jam Shaghir, jld.2, cet-1, Beirut: Al-Maktabah Al-Islamiyah, t.t.
Zuhaili, Az-, Wahbah, Fiqhul Islam wa Adillatuhhu, jld. 4, cet-10, Damaskus: Darul fikri, 2010.


[1] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, jild.  2 (Beirut: Darul Fikri, 2010), hlm. 250.
[2] Ibnu Faris, Mu’jam Maqayisyil Lughah, hlm. 621.
[3] Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, jild.  9 (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 342, dan Abdul Aziz bin Abdullah As-Sudaisi, Ahkâmul aqîqah, (tt: tp, tt), hlm. 4.
[4] Ibnu Qudamah , Al-Mughni,  jild.  9,  hlm. 362,  Ash-Shan’ani, Subulus Salam, jild.  4, hlm. 1426.
[5] Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyatul Aulad fi Islam, jild.  1 (tt: Darussalam, 1992), hlm. 95.
[6] Ibnu Hajar Al-Ashqalani, Fathul Bari, jild.  9, (Kairo: Darul Hadits, 2004), hlm. 679:26  Al- Musnad Al-Jami’, Abul Mu’athi annuri, jild.  6, hlm. 452.
[7] Jamal Abdurrahman, Athfâlul Muslimîn, cet. ke- 7, (Makkah: Dar Thayyibah Al-KHudra’, 2004), hlm. 21-24.
[8] Sahlan Ahmad, Panduan Ringkas Fiqih Aqiqah, (Solo: Najah Presss, tt), hlm. 4-5.
[9] Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid, jild.  3 (tt: Dârus Salâm, 1995), hlm. 1194.
[10] Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, jild.  3, cet. ke- 1, (tt: Darul Wafa,2001), hlm. 589-590.
[11] Shalih Al-Fauzan, Al-Mulakhas Al-Fiqhi, jild.  1, cet. ke- 2, (Iskandariyah: Dârul Aqîdah, 2009), hlm. 325.
[12] Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyatul Aulad… hlm. 96-97.
[13] Ibid.
[14] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid… hlm. 1194.
[15] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Mâjah,… hlm. 249.
[16] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudûd bi Ahkâmil Maulûd, (ttp.: Darul Ilmi Al-Fawaid, t.t), hlm. 53-54.
[17] Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan Tirmidzi, jild.  3, (Beirut: Darul Fikri, 2009), hal. 174, dan Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Mâjah, … hlm. 250.
[18] Ibnu Hajar Al-Ashqalani, Fathul Bâri, jild.  9, (Kairo: Darul Hadits, 2004), hlm. 677.
[19] Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyatul Aulad… hlm. 97.
[20] Ibid.
[21] Asy-Syaukani, Nailul Authôr, jild.   8, hlm. 159 (Al-Maktabah Asy-Syamilah).
[22] Malik bin Anas, Al-Muwatha’, cet. ke- 1, (Beirut: Darul Fikri, 2011), hlm. 244.
[23] Ibnu Qayyim Al-Juziyah, Tuhfatul Maudûd … hlm. 98-100 , dan Jamal Abdurrahman, Athfâlul Muslimîn,… hlm. 25-26.
[24] Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-majmu’…, hlm. 345.
[25] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah,… hlm. 249.
[26] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu, jild.  4, cet. ke- 10, (Damaskus: Darul fikri, 2010), hlm. 2748.
[27] Abu Abdurrahman Adl bin Yusuf Al-Azazi, Tamamul Minnah, jild.  4, cet. ke- 2, (Iskandariyah: Darul Aqidah, 2009), hlm. 244.
[28] Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’atul Fiqhil Islami, jild.  3, cet. ke- 3, (Damaskus: Darul Fikri, 2012), hlm. 634.
[29] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid...., hlm. 1196.
[30] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam…, hlm.2748.
[31] Shalih Al-Fauzan, Al-Mulakhos…, hlm. 326.
[32] Al-Baihaqi, Sunan Kubra, (Al-Maktabah Asy-Syamilah), Abul Qasim Ath-Thabari Mu’jam Shagîr, jild. 2, cet. ke- 1, (Beirut: Al-Maktabah Al-Islamiyah, t.t), hlm. 142.
[33] Al-Mawardi, Al-Hawi Fi Fiqhi Asy-Syafi’i, jld. 15, cet-1, (ttp.: Dar Kutubul Ilmiyah, 1994 M), hlm. 129.
[34] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Mâjah,… hlm. 249.
[35] Ibnu Hajar Al-Ashqalani, Fathul Bari,…, hlm. 678
[36] Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’atul Fiqhil..., hlm. 636
[37] Ibid
[38] Abdullah al-Bauqiry, Ahkâmul Janîn wa Ath-Thifli fî Al-Fiqh Al-Islamy, jild. 1, ( ttp.: t.p., 1990 M ),  hlm. 431.
[39] Muhammad Adîb, Ahkâmul Udhiyah wal Aqîqah wat Tadzkiyah, (ttp.: t.p., t.t.), hlm. 17.
[40] Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujatahid wa Nihayah Al-Muqtashid, jild. 1 , cet. ke-6, (Beirut: Dâr Al- Ma’rifah, 1982 M), hlm 464.
[41] Muhammad Adîb, Ahkâmul Udhiyah …., hlm. 17.
[42] Al-Imâm An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhu Al-Muhadzdzab, jild. 9, cet. ke-2, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2011 M), hlm. 340, dan Muhammad Adîb, Ahkâmul Udhiyah…, hlm. 46.
[43] Al-Imâm Ahmad, Musnâd  Al-Imâm Ahmad bin Hambal , jild. 45, cet. ke-1, (Beirut: Muassasah Ar-Risâlah, 2001) hlm. 116, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan AT-Tirmidzi…,  hlm. 173, dan Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini,  Sunan Ibnu Majah, … hlm. 249.
[44] Al-Imâm An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhu al-Muhadzdzab,…, hlm. 340, dan  Al-Khathîb Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtâj, jild. 4, cet. ke-1, (Beirut: Dâr Al-Ma’rîfah, 1997 M ), hlm. 391.
[45] Sunan Abi Daud, jild. 8, hlm. 20, bab  aqiqah, Maktabah Syamilah.
[46] Al-Imâm Malik bin Anas, Al-Mudawwanah Al-Kubrâ, “kitab aqiqah” jild. 1,  cet. ke-1, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1994 M) hlm. 554.
[47] Al-Imâm An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhu Al-Muhadzdzab, jild. 9, cet. ke-2, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2011 M), hlm. 340.
[48] Muhammad Adîb, Ahkâmul  Udhiyah….., hlm. 46.
[49] Al-Imâm Mâlik bin Anas, Al-Mudawwanah Al-Kubrâ, “kitab aqiqah” jild. 1, cet. ke-1, ( Beirut: Dâr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1994 M ) hlm. 554.
[50] Ulama’ madzhab Syafi’i.
[51] Ulama’ madzhab Syafi’i.
[52] Muhammad Adîb, Ahkâmu Al-Udhiyah…., hlm.47.
[53] Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islamy wa Adillatuhu, jild. 3, cet. ke-2, ( Daar Al-Fikr, 1985 M ), hlm. 639, Abdullah al-Bauqiry, Ahkâmul Janîn wa Ath-Thifli fî Al-Fiqh Al-Islamy,…., hlm. 459, dan Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujatahid wa Nihayah Al-Muqtashid,…., hlm. 464.
[54] Abdullah al-Bauqiry, Ahkâmul Janîn wa Ath-Thifli fii Al-Fiqh Al-Islamy,…., hlm. 459.
[55] Beliau adalah Ahmad bin Harun Abu Bakar Al Khallal, seorang ulama’ madzhab Hambali yang banyak mencatat perkataan-perkataan dan fatwa-fatwa Imam Ahmad.
[56] Muhammad Abu Al-Abbâs, Tuhfatul Maudûd bi Ahkâm Al-Maulûd,( Kairo: Maktabah Al-Qur’an, tt.) hlm. 58.
[57] Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islamy …, hlm. 639.
[58] Ibid.
[59] Terputus pada tingkatan perawi sahabat.
[60] Al-Imâm Abu Dâwud, Al-Marâsil, cet. ke- 1, ( Libanon: Dâr Al-Qolam, 1986 M ), hlm. 197.
[61] Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islamy …, hlm. 639.
[62] As-Sayyid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, jild. 3, cet. ke-1, ( Kairo: Daar Al-Fath, 2000 M), hlm.193.
[63]Al-Imâm An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhu al-Muhadzdzab, jild. 9, cet. ke-2, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2011 M), hlm. 411.
[64] Al-Khathib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj,…, hlm.391.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khitbah Melalui Media Komunikasi

HUKUM MENERIMA WAKAF DARI ORANG KAFIR

Cara Mengganti Email Blog di blogger