Khitbah Melalui Media Komunikasi
Khitbah Melalui Media Komunikasi
A. Pendahuluan
Nikah adalah perkara yang sakral
dan merupakan perkara yang disyari’atkan oleh
Allah SWT untuk hamba-Nya sebagai penyempurna separuh agama mereka. Pada
era globalisasi ini semakin berkembangnya zaman dan teknologi sehingga media
komunikasi semakin berkembang dan canggih. Banyak orang melakukan transaksi
jual beli melalui media, belajar hingga keluar negeri melalui media, bisnis
dengan relasi kantornya dengan media juga, bahkan hingga ada orang yang mengadakan
khitbah melalui telepon dan jejaring sosial lainnya. Alasannya jarak antara
keduanya berjauhan sehingga mereka tidak dapat melangsungkan khitbah secara
langsung. Hal ini, melahirkan banyak pertanyaaan yang timbul dari masyarakat
mengenai hukum bagi orang yang melaksanakan khitbah serta akad nikah melalui media.
Lalu bagaimanakah hukum khitbah dan akad nikah melalui media? Sah ataukah tidak
melaksanakan khitbah dan akad melalui media? Dari pertanyaan tersebut penulis
akan memaparkan mengenai hukum tersebut.
B. Pengertian
1. Akad
Akad secara
bahasa adalah mengikat, jaminan, dan janji.[1] Akad
dalam kamus besar bahasa indonesia yaitu mengikat perjanjian.[2] Akad
secara istilah yaitu keterkaitan antara kalimat ijab dan kabul seperti akad
jual beli dan nikah, di antara keduanya tidak dapat dipisah.[3]
2. Media
Media elektronik menurut kamus
besar bahasa indonesia adalah sarana media masa yang mempergunakan alat-alat
elektronik modern.[4] Berkembangnya
zaman sehingga alat elektronik yang digunakanpun semakin canggih. Bahkan dari
semua golonganpun dapat menggunakan media ini, dari balita hingga orang tua
menggunakannya.
C. Hukum Khitbah Melalui Media
Pada era ini banyak orang yang melakukan
khitbah serta akad melalui alat komunikasi, baik via telepon, 3G, whatsapp,
BBM, video call, maupun melalui internet. Alasan mereka dengan melakukan hal
itu karena jarak diantara keduanya
berjauhan sehingga mereka mengambil solusi agar pernikahan tetap berjalan yaitu
dengan melaksanakan khitbah dan akad nikah melalui media. Pada pelaksanaan
khitbah dan akad nikah ini maka terdapat syarat-syarat dan rukun yang harus
dipenuhi oleh mempelai.
1) Hukum Khitbah
Hukum khitbah yang dilakukan melalui alat komunikasi baik via telepon, 3G, whatsapp, BBM, maupun video call dinyatakan sah jika syarat khitbah terpenuhi. Yaitu berupa kedua belah pihak saling mengenal dan memahami. Sebagaimana dalam kaidah fiqih menyatakan bahwa: al-kitabah ka al-khithab (tulisan itu kedudukannya sama seperti ucapan).[5] Syarat diterimanya khitbah atau akad melalui tulisan yaitu tulisannya jelas dengan menyatakan sighat akad, niat dan adanya persaksian.[6]
Jadi seorang
lelaki yang ingin meng-khitbah seorang wanita melalui alat komunikasi
diperbolehkan berdasarkan kaidah tersebut. Wanita yang harus dikhitbah bukanlah
wanita yang diharamkan untuk dinikahi, bukan wanita yang dalam masa iddah, dan
bukan wanita yang dalam khitbah laki-laki lain.
2) Hukum Akad
a.
Terpenuhinya
syarat dan rukun nikah
Adapun syarat nikah berupa empat
unsur yaitu izin dari wali,[7]
kerelaan wanita sebelum dilangsungkan pernikahan, mahar[8],
dan saksi.[9]
Sedangkan rukun nikah yaitu ijab dan kabul.[10]
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan ditanya
mengenai pembicaraan seorang yang ingin meng-khitbah wanita yang akan
di-khitbah melalui telepon. Kemudian beliau menjawab bahwa seseorang yang ingin meng-khitbah
seorang wanita melalui telepon maka tidak mengapa. Jika sudah diterima khitbahnya dan perbincangan tersebut saling memahamkan sesuai dengan
kebutuhan, dan tidak terdapat fitnah di dalamnya. Jika perbincangan tersebut
terjadi pada seorang laki-laki dan wanita, seorang pemuda dan pemudi, dan di
antara mereka belum ada terjadinya khitbah, maka hal ini mungkar dan haram serta
memicu kepada fitnah dan akan terjadi kefasikan.[11] Namun jika
hal itu dilakukan melalui walinya adalah lebih baik dan lebih terpelihara dari
sesuatu yang meragukan.[12] Oleh
karena itu, seorang perempuan tidak boleh berbicara kepada seorang laki-laki ajnabi
kecuali bila terpaksa dan itupun dengan perkataan yang ma’ruf tidak ada unsur
fitnahnya dan tidak mengundang keraguan.
Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab: 32
ياَنِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ
اِنِ التَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهِ
مَرَضٌ وَّ قُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوْفًا
“Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan
yang lain, jika kamu bertakwa, maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan
suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam
hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.”
Seorang wanita
tidak diperkenankan berbicara dengan seorang laki-laki ajnabi kecuali
karena adanya kebutuhan yang tidak menimbulkan fitnah dan juga tidak mengandung
keraguan.
Para ulama
telah menegaskan bahwasanya perempuan yang sedang berihram boleh bertalbiyah namun tidak boleh
menyaringkan suara. Di dalam hadits disebutkan,
اِنَّمَا
التَّصْفِيْقُ لِلنِّسَاءِ مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِيْ صَلاَتِهِ فَلْيَقُلْ : سُبْحَانَ
الله
“Sesungguhnya bertepuk tangan itu milik
perempuan. Maka barangsiapa yang di dalam shalatnya merasa ada kesalahan maka
hendaknya mengatakan ‘ subhanallah’” (HR. Bukhori)[13]
Sebagaimana
hadits di atas menunjukkan bahwa seorang wanita tidak terdengar suaranya oleh
laki-laki kecuali dalam keadaan yang dibutuhkan kepada orang yang diajak bicara
karena malu dan kehormatan wanita itu sendiri.[14]
b. Pada zaman
sekarang banyak terjadi penipuan dan pemalsuan sehingga suara atau
percakapanpun bisa dipalsukan dan ditiru, terkadang satu orang mampu menirukan
beberapa percakapan atau suara baik laki-laki atau perempuan, anak kecil
ataupun orang dewasa dan para pendengar menyangka bahwa suara-suara tersebut
keluar dari banyak mulut, namun ternyata suara-suara tersebut hanya dari satu
lisan saja. Karena dalam syariat
Islam menjaga kemaluan dan kehormatan menjadi skala prioritas dan untuk selalu
bersikap hati-hati maka Lajnah Daimah melihat bahwa akad nikah dari
mulai ijab dan kabul, dan mewakilkan lewat telepon sebaiknya tidak disahkan.
Demi kemurnian syariat dan menjaga kemaluan dan kehormatan agar orang-orang
jahil dan para pemalsu tidak mempermainkan kesucian Islam dan harga diri
manusia.[15]
Pernyataan di
atas jika syarat-syarat dan rukun nikah terpenuhi maka akad yang dilakukan sah
dengan catatan keluarga dari kedua belah pihak saling mengenal dan mengetahui.
Jika syarat-syarat dan rukun nikah tidak terpenuhi maka akad yang dimulai dari
ijab dan kabul tidak disahkan karena khawatir adanya penipuan.
Akad nikah
juga dapat dilakukan dengan tulisan maupun isyarat[16]:
a.
Orang yang
mampu untuk hadir dan berbicara: jika kedua orang tersebut mampu bicara dan
hadir maka para ahli ulama sepakat bahwa akad nikah tersebut tidak sah jika
dilakukan dengan tulisan.[17]
b.
Orang yang
mampu bicara dan tidak hadir: jika salah satu dari kedua belah pihak yang
melakukan akad tidak hadir dalam majelis akad: menurut ulama Hanafiyah, akad
sah dilakukan dengan cara memakai media tulisan atau mengirimkan utusan, jika
kedua saksi hadir ketika tulisan atau utusan tersebut sampai di majelis. Karena
tulisan itu sebagai pengganti bicaranya.[18]
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa tidak sah akad nikah dengan menggunakan media
tulisan dalam keadaan hadir maupun tidak. Karena tulisan merupakan sindiran.[19]
c.
Orang tuna
wicara (bisu)
Jika salah
satu orang yang melakukan akad tersebut bisu atau sulit bicara:
Jika dia mampu menulis maka akad
nikah sah dengan menggunakan tulisan
tersebut, sebagaimana dengan isyarat.[20]
Karena keadaan ini darurat. Namun dalam hal ini ulama bersepakat bahwa tulisan
lebih utama dari pada isyarat, karena tulisan sederajat dengan pernyataan yang
sharih (jelas) dalam masalah nikah, talak, dan ikrar
(pernyataan).
d.
Jika orang
yang bisu dan tidak mampu menulis: para ulama sepakat bahwa akad nikah sah
dilakukan dengan isyarat yang dapat memberikan pemahaman dan mudah dimengerti.[21]
Karena pada keadaan tersebut isyarat merupakan media komunikasi khusus yang
mampu mengungkapkan akan keinginannya.
Akad nikah orang yang bisu sah
dilakukan dengan tulisan atau isyarat jika orang yang diajak bicara memahami
isyarat tersebut.[22]
D. Kelemahan Adanya Akad Melalui Media
Jika orang yang melakukan akad
nikah melalui alat telekomunikasi disahkan maka terdapat beberapa hal yang
harus diperhatikan, diantaranya:
1.
Adanya unsur
penipuan
Seseorang yang melakukan khitbah
dan akad nikah melalui media komunikasi dengan alasan karena jarak diantara
keduanya berjauhan. Lalu kedua
belah pihak belum pernah bertemu dan belum saling mengetahui satu sama lain,
maka hal itu dapat
menyebabkan kekhawatiran bahwa adanya penipuan diantara keduanya.
2.
Terjadinya
pemalsuan suara dari salah satu pihak
Jika khitbah
dan akad nikah dilakukan secara tidak langsung atau melalui media, maka dapat
terjadi kemungkinan bahwa ketika berlangsungnya khitbah dan akad nikah orang
tersebut melakukan penipuan berupa memalsukan suara dengan suara orang lain.
Seorang yang belum saling mengenal
satu sama lain antara dua belah pihak kemudian melakukan akad nikah melalui
media, dapat terjadinya kemungkinan bahwa salah satu di antara keduanya
memalsukan suara dengan meminjam suara orang lain untuk melakukan akad. Pada
zaman ini kemungkinan untuk menipu seseorang lebih mudah dengan menirukan suara
seseorang untuk melakukan akad, maka terjadilah akad dengan jarak jauh.
3.
Adanya
pemalsuan data
Akad nikah yang dilakukan dengan cara
online atau melalui telepon maka bisa saja terjadinya manipulasi data, baik
dari pihak laki-laki ataupun perempuan karena dari kedua belah pihak tidak
saling mengerti dan mengenal serta mengetahui kebenarannya sehingga keduanya
dapat memiliki peluang untuk memanipulasi data seperti identitas diri antara
keduanya. Adanya manipulasi ini karena adanya unsur penipuan salah satu dari
kedua belah pihak yang mana salah satu
dari kedua belah pihak tersebut ada yang dirugikan.
Jika khitbah dan akad dilakukan
dalam tempat yang berbeda dan jarak yang berjauhan dapat disimpulkan bahwa
salah satu dari kedua belah pihak memalsukan data dirinya, bahkan semua
identitas dirubah supaya tidak ada seorangpun yang mengetahui identitas aslinya.
4.
Melalui foto
Sebenarnya khitbah melalui foto
diperbolehkan jika tidak ada unsur penipuan, namun hal itu dilarang jika adanya
manipulasi foto karena pada zaman yang canggih ini dengan alat komunikasinya
dapat merubah foto yang semula jelek menjadi sebaik rupa.
Dan hal itu lebih ditegaskan lagi
dalam kondisi ketika si wanita berada di tempat yang jauh darinya. Hanya saja
perlu diingatkan bahwa cara seperti ini bisa saja mengandung unsur penipuan.
Foto tidak menampakkan orang yang difoto sebagaimana aslinya. Bisa saja
fotografer membuat suatu trik lalu membuat wanita yang jelek menjadi cantik.
Atau diserahkan kepadanya foto wanita yang bukan wanita yang ingin dipinangnya.
Terkadang foto seorang wanita itu sampai kepada banyak orang yang menyebabkan bahaya
baginya dan keluarganya.[23]
E. Kelebihan Akad Melalui Media
Seseorang yang berkeinginan menikah
hanya saja jarak tempuh diantara keduanya menjadi penghalang bagi keduanya,
sehingga tidak dapat dipertemukan. Maka mereka dapat melangsungkan pernikahan
melalui media yang telah ada pada zaman ini yaitu menikah melalui internet,
telepon atau sebagainya sehingga diantara keduanya dapat melangsungkan
pernikahan dengan mudah. Kelebihan dari seseorang yang melakukan khitbah dan
akad nikah melalui media ini, berupa saling terpenuhi keinginan seseorang yang
ingin menikah namun jarak yang berjauhan. Dengan itu mereka dapat terhindar
dari hal-hal yang mungkar.
Ketika seseorang melangsungkan
khitbah dan akad secara langsung maka ketika khitbah, lelaki dapat menentukan
apakah wanita itu orang yang cocok atau tidak dengannya. Jika ia cocok dengan
wanita yang dikhitbahnya maka ia dapat melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Namun
jika tidak cocok maka ia dapat memutuskannya di waktu itu juga.
F. Kesimpulan dan Penutup
Melangsungkan khitbah melalui media
sah jika kedua belah pihak saling mengetahui satu sama lain, namun jika khitbah
dilaksanakan tanpa ketidak tahuan antara kedua belah pihak maka khitbah tidak
disahkan karena untuk menghindari dari penipuan dan fitnah. Sedangkan akad pernikahan
melalui media telekomunikasi dinyatakan sah jika syarat dan rukun pernikahan
terpenuhi dengan syarat. Adapun syarat diperbolehkannya adalah jika syarat dan
rukun nikah terpenuhi, kedua belah pihak saling mengenal dan tidak ada unsur
penipuan.
Namun jika salah satu dari syarat
dan rukun tidak terpenuhi dan terdapat unsur penipuan di dalamnya, maka khitbah
dan akad nikah melalui alat komunikasi tidak sah. Maka dari paparan di atas
dapat disimpulkan bahwa akad pernikahan yang didasari ketidak percayaan antara
saksi karena ditakutkan adanya manipulasi dari suara karena jauhnya jarak
antara dua belah pihak maka pernikahan tersebut tidak sah. Namun jika saksi
saling mengetahui dan memahami satu sama lain maka persaksian dan pernikahan
tersebut sah.
Wallahu a’lam bish showab..
Pertanyaan...
1.
Bagaimanakah
hukum bagi orang yang melakukan khitbah maupun akad melalui video call?
2.
Apakah sama
antara hukum khitbah dan akad jika harus memenuhi syarat dan rukun?
Jawaban...
1.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan di makalah, bahwa hukum orang yang melakukan khitbah
maupun akad melalui video call diperbolehkan jika syarat khitbah terpenuhi
yaitu kedua keluarga saling mengenal dan tidak ada unsur penipuan di dalamnya.
2.
Hukum antara
khitbah dan akad nikah berbeda, karena khitbah itu hanya ungkapan untuk
menikahi seseorang dan masih ada kemungkinan di dalamnya untuk melanjutkan ke
jenjang pernikahan atau tidak. Sedangkan akad itu sudah ada persetujuan di
antara kedua belah pihak untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan dan jawaban
ijab dan kabul sudah jelas.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
al-Karim
Ad-Dimasqi, Imam Abi Zakaria Yahya bin Syirof an-Nawawi, Raudhotu
ath-Tholibin, jil. 5, Beirut: Daar ‘Alim al-Kutub: 2003
Ad-Duwaisy, Ahmad bin Abdul ar-Rozaq,Fatawa
Lajnah Daimah Lil Buhutsi al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’, jil. 18, Riyadh: Daar al Muayyid, 1409
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari,
kitab shalat, bab. Isyaroh fii sholat, no. 1177, jil. 1, Damaskus: Daar Ibnu
Katsir, t.t
Al-Hushani, Imam Taqiyuddin Abi
Bakr bin Muhammad al-Husaini,Kifayah al-Akhyar fii Halli Ghoyah
al-Ikhtishor, Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001
Al- Islamiyah, Wazaroh al-Auqof wa as-Syu’un, Mausu’ah
Al-Fiqhiyah, jil. 3, cet.1, Kuwait: Daar as-Shofwah, 1994
Al-Maqsud, Abu Muhammad Asyrof bin Abdul, Fatawa
Mar’ah Al-Muslimah, cet. ke 2, Riyadh: Adhwau as-Salaf, 1429
As-Syarbini,Syamsuddin Muhammad bin al-Khotib,
Mughni al-Muhtaj, cet. 1, jil. 3, Beirut: Daar Ma’rifah,1997
Az-Zuhaili, Prof. DR. Wahbah, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, cet.1, jil. 9, Damaskus: Daar al Fikri, 2007
Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin
[et.al], Fatwa-Fatwa Terkini, terj. Musthofa Aini, jil. 1, Jakarta:
Darul Haq, 2003
Nasional, Departemen Pendidikan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Tiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2000
Salim ,Abu Malik
Kamal bin Sayid, Shahih Fiqh Sunnah, jil.
3, Kairo: Maktabah at-Taufiqiyah, 2003

Qudamah, Ibnu, Al-Kaafi, cet.1, jil. 4,
t.tt :Daar Hajar,1997
Qudamah, Ibnu, al-Mughni, cet.3, jil.
9, Riyadh: Daar ‘Alim al-Kutub, 1997
[1] Wazaroh
al-Auqof wa as-Syu’un al- Islamiyah, Mausu’ah Al-Fiqhiyah, jil. 3,
cet.1, (Kuwait: Daar as-Shofwah, 1994), hlm. 198
[2] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Tiga, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Tiga, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional: Balai Pustaka, 2000), hlm. 18.
[5] Muhammad
as-Sidqi bin Ahmad al-burnu, al-Wajiz fii Idhoh Qowa’id al-Fiqhi
al-Kuliyyah, cet. 1, (Riyadh:
Muassasah ar-Risalah, 1983), hlm. 176
[7] Abu Malik
Kamal bin Sayid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, jil. 3, (Kairo: Maktabah at-Taufiqiyah, 2003) hlm. 135
[10] Abu Malik Kamal bin Sayid Salim, Fiqh
Sunnah li an Nisa’, (Kairo: Al-Maktabah At-Taufiqiah, 2008), hlm. 471, Abu
Malik Kamal bin Sayid Salim, Shahih Fiqh..., hlm. 132
[11] Abu Muhammad
Asyrof bin Abdul al-Maqsud, Fatawa Mar’ah Al-Muslimah, cet. ke 2, (Riyadh: Adhwau as-Salaf, 1429), hlm. 843
[12] Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz [et.al], Fatwa-Fatwa Terkini, terj. Musthofa
Aini, jil. 1, (Jakarta: Darul
Haq, 2003), hlm. 474
[13] Muhammad bin
Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, kitab shalat, bab. Isyaroh fii Sholat,
no. 1177, jil. 1, (Damaskus: Daar Ibnu Katsir, t.t), hlm.414
[15] Ahmad bin
Abdul ar-Rozaq ad-Duwaisy, Fatawa Lajnah
Daimah Lil Buhutsi al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’, jil. 18, (Riyadh: Darul Muayyid, 1409), hlm. 90
[16] Dr. Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, cet. 2, jil. 7, (Damaskus: Daar
al-Fikr,1985), hlm. 45
[19] Syamsuddin
Muhammad bin al-Khotib as-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, cet. 1, jil. 3,
(Beirut: Daar Ma’rifah,1997), hlm. 190,
Imam Abi Zakaria Yahya bin Syirof an-Nawawi ad-Dimasqi, Raudhotu
ath-Tholibin, jil. 5, (Beirut: Daar ‘Alim al-Kutub: 2003), hlm. 383
[21] Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini
al-Hushani,Kifayah al-Akhyar fii Halli Ghoyah al-Ikhtishor, (Beirut:
Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), hlm. 476
Komentar
Posting Komentar