Rukun Sholat Menurut Empat Madzhab





Syariat Islam merupakan syariat yang syumul. Ia mencakup seluruh bidang dalam lini kehidupan manusia. Islam tidak hanya mengenalkan dan mengajarkan ajaranya dengan global saja, bahkan syariat itu sendiri menjelaskan kandungan agama dengan sangat terperinci.
Sholat. Ia merupakan salah satu syariat Islam yang tak seorangpun diperbolehkan meninggalkanya. Dalam kondisi apapun. Hanya saja Islam yang rahmatan lil’alamin memberikan keringanan bagi siapa yang hilang qudrah dalam tatacara pelaksanaanya, tanpa kebolehan untuk meninggalkanya.
Dalam sholat, Alloh telah menashkan baik secara dhahir maupun khofy tatacara pelaksanaanya. Ia telah menggariskan sebuah rukun dan syarat yang harus dilaksanakan bagi seorang hamba ketika hendak melaksanakan sholat. Melihat betapa urgenya sebuah rukun yang merupkan syarat sahnya Sholat, maka pada tulisan sederhana ini penulis ingin memapakarkan rukun-rukun sholat. Adapun dalam makalah ini, penulis memaparkan pendapat Syafi’iyyah dan Hanafiyyah saja dikarenakan kedua pendapat inilah yang sepertinya  lebih sering tampak terjadi ikhtilaf diantara mereka.
A.            Devini Rukun dan Shalat
Rukun secara bahasa yaitu salah satu unsur yang dijadikan sandaran atas suatu perkara. Dikatakan pula bahwa rukun ialah bagian dari sesuatu itu sendiri[1]. Sedangkan secara istilah fiqih, rukun ialah
Shalat secara bahasa ialah ad-du’a yang berarti doa.[2]
Adapun sholat secara istilah yaitu suatu ibadah yang terdiri dari berbagai gerakan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.[3]
B.             Faraidh Shalat
Fardhu ialah segala bentuk perbuatan yang mendapat pahala jika dikerjakan, mendapat iqab atau balasan apabila ditinggalkan terutama syiar yang diperintahkan oleh Syari’ dengan tegas dengan dalil qath’i..
Fardhu dalam shalat dapat diartikan sebagai rukun dan wajib menurut Malikiyyah, dan Syafiiyyah[4]. Sebagai diketahui bahwa faraidh yaitu bagian-bagian yang jika hilang darinya menyebabkan tidak ada pangkal atau kepala dari shalat tersebut.
Adapun fardhu dan wajib menurut Hanafiyyah dibedakan. Fardhu menurut mereka yaitu segala perbuatan yang dituntut oleh Syari’ (Alloh Swt.,) supaya dikerjakan dengan tuntutan yang harus dengan dalil qath’i yang tidak ada keraguan didalamnya.[5] Adapun beda fardhu dengan wajib yaitu pada dalil yang digunakan berupa dalil qath’i pada fardhu dan dalil dhany pada wajib seperti membaca Al-Fatihah dalam shalat.
Para imam madzhab memiliki jumlahrukun tersendiri dalam shalat:
-                 Madzhab Hanafiyyah[6] mengatakan, rukun terbagi menjadi 2: rukun asli dan rukun zaid (tambahan). Rukun asli yaitu rukun yang dapat menggugurkan kewajiban seseorang ketika dalam kondisi lemah. Seseorang tadi tidak diharuskan untuk mengganti dengan perbuatan lain atas hilangnya kewajiban tersebut. Sedang rukun tambahan yaitu rukun yang bisa jadi gugur dalam beberapa keadaan, walaupun seorang tersebut mampu untuk melakukanya seperti membaca surat, sehingga dalam madzhab mereka ma’mum hanya mengikuti bacaan imam.
          Rukun sholat yang disepakati dalam madzhab mereka ada empat baik dari rukun ashli maupun tambahan. Yang termasuk rukun asli yaitu qiyam, ruku’ dan sujud. Sedang rukun tambahan yaitu qiraah. Empat hal inilah yang dijadikan hakikat shalat dalam madzhab mereka, sehingga jika salah seorang meninggalkan salah satu dari keempat hal diatas maka ia tidak dapat dikatakan telah shalat. Pada permasalahan sholat terdapat berbagai hal yang ia bukan hakikat sholat akan tetapi berpengaruh pada keabsahan nilai sholat, diantara hal tersebut terbagi menjadi dua. Pertama, yang keluar dari mahiyah atau gerakan dhohir shalat yaitu suci dari hadats dan khabats, menutup aurat, menghadap kiblat, masuk waktu sholat, niat, takbir ihram,semua ini masuk pada kategori syarat sah sholat.
Yang kedua yaitu, hal-hal yang ada dalam rangkaian sholat akan tetapi tidak termasuk hakikat sholat itu sendiri yaitu, qiraah ketika pada posisi qiyam, ruku’, sujud dan lainya.
-                 Malikiyyah berpendapat bahwa faraidh sholat ada 15 diantaranya, niat, takbir ihram, qiyam pada sholat fardhu, membaca Al-Fatihah, berdiri saat membaca Al-fatihah, ruku’, I’tidal, sujud, duduk dianatara 2 sujud, salam, duduk tasyahud, salam, thuma’ninah, tartib atau urut, niat ikut imam jika posisinya sebagai ma’mum.
Kesamaan fardhu shalat madzhab Maliki dan Hanafi terletak pada 4 hal, yaitu: berdiri bagi yang mampu, ruku’, sujud, dan qira’ah. Pada poin qiraah terjadi ikhtilaf antara madzhab Hanafi dan selainya. Madzhab Hanafi mengatakan bahwa yang diwajibkan dibaca ketika sholat ialah apa saja dari Al-qur’an tanpa menentukan Al-fatihah, sedang madzhab Maliki didukung oleh madzhab lainya mengatakan bahwa qiraah yang diwajibkan untuk dibaca ketika sholat adalah surat Al-fatihah.
-                 Syafiiyah[7] mengatakan bahwa fardhu sholat terdapat 13 fardhu. Lima fardhu qauly atau yang berupa ucapan, dan delapan fardhu fi’li atau yang berupa gerakan. 5 qauli tersebut ialah takbir ihram, membaca Al-Fatihah, tasyahud akhir, shalawat atas nabi, salam pertama. Fardhu fi’liyahnya yaitu niat, qiyam bagi yang mampu, ruku’, I’tidal, sujud pertama dan kedua, duduk diantara 2 sujud, duduk akhir atau tasayahud akhir, tartib. Adapun thuma’ninah masuk pada syarat sempurnanya ruku’, I’tidal, sujud, duduk diantara 2 sujud, dan duduk tasyahud harus dengan thuma’ninah walaupun tidak termasuk rukun tambahan.
-                  Hanabilah[8] mengatakan bahwa faraidh shalat ada 14 yaitu, qiyam, takbir ihram,   membaca Al-fatiha, ruku’ dan bangkit darinya, I’tidal, sujud dan bangkit darinya, duduk diantara 2 sujud, tasyahud akhir, duduk pada tasyahud akhir dan 2 salam, thuma’ninah pada setiap rukun, tartib pada bagian yang fardhu, dan 2 salam.
C.            Rukun Shalat yang Disepakati
1.              Takbiratul Ihram
Takbir pada permulaan sholat disebut sebagai takbiratul ihram dikarenakan dengan takbir tersebut seseorang telah haram baginya melakukan segala sesuatu yang pada sebelumnya dihalalkan sebab dapat merusak bahkan membatalkan shalat, seperti makan, minum, berbicara dan lain sebagainya.
Takbiratul ihram dimulai setelah seseorang meniatkan diri dengan mantap hendak melaksanakan shalat. Shalat seseorang tidak sah dan tidak dianggap adanya jika tidak melafadzkan takbir tersebut bagi yang mampu. Hal ini berdasar sabda nabi SAW., “((صلوا كما رأيتموني أصلي))[9], yang artinya “ shalatlah kalian sebagaiamana kalian melihatku shalat”.
Rasululloh SAW., juga bersabda (([10]((مِفتاحُ الصلاة الوضوءُ، وتحريمُها التكبير، وتحليلُها التسليم  yang artinya, “ kunci shalat adalah wudhu, pengharamnya adalah takbir, penghalalnya adalah salam”.
Dalam hadits lain juga disebutkan, bahwa suatu hari seusai shalat ada seorang lelaki yang datang pada nabi SAW., lalu mengucapkan salam pada nabi, kemudian nabi SAW., membalasnya dan bersabda, “ kembali dan ulangilah shalatmu! Sungguh engkau sama sekali belum shalat”. Maka kemudian, si lelaki tersebut kembali dan mengulang shalatnya. Nabi SAW., mengatakan hal yang serupa hingga tiga kali, sehingga silaelakipun berkata, “ Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada yang lebih baik aku lakukan selain ini, maka ajarilah aku!”. Rasulpun bersabda, “ jika kau hendak mendirikan shalat maka bertakbirlah…..”.[11]
Apakah diperbolehkan melafadzkan lafadz yang lain selain Allohu Akbar yang masih menunjukan hal tersebut?
Pada permasalahan ini terdapat ikhtilaf dikalangan fuqaha.
-                 Hanafiyyah[12] menyebutkan bahwa selama masih mengandung maksud yang sama yaitu ta’dhim lillah maka diperbolehkan, seperti kalimat tahmid, tasbih, tahlil maupun dzikir yang mengandung makna sifat serupa seperti Ar-Rahmanu A’dham dan lainya.
-                 Abu Yusuf, ulama Hanafiyyah berbeda pendapat. Ia mengatakan bahwa tidak diperbolehkan secara syar’I kecuali dengan lafadz pecahan takbir sendiri. Lafadz pecahan tersebut ialah  الله أكبر - الله الأكبر - الله الكبير.Hal ini ditujukan bagi seorang yang tak dapat membaca takbir.
-                 Syafi’iyyah[13] berpendapat bahwa diperbolehkan dengan menggunakan lafadz - الله الأكبر
-                 Adapun Malikiyyah[14] dan Hanabilah[15] berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengganti lafadz takbir الله أكبر dengan selainya, sebab ia adalah ibadah. Ibadah itu bertawaqquf dengan sima’ dan tidak memperbolehkan adanya qiyas.
2.              Berdiri bagi yang mapu
          Berdiri ketika shalat merupakan hal yang wajib. Hal ini ditetapkan berdasarkan pada firman Alloh ta’ala ﴿ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ ﴾[16]. Yang dimaksud qumu adalah berdiri ketika shalat.  Dalam As-Sunnah disebutkan yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain ia berkata, kala itu aku sedang sakit ambeian. Kemudian aku menanyakan hal tersebut pada Rasul SAW., dan beliau bersabda
[17]صلِّ قائمًا، فإن لم تستطع فقاعدًا، فإن لم تستطع فعلى جَنبٍ” yang artinya, “ Shalatlah kalian dengan berdiri….”. Ijma’ juga mengatakan hal yang sama ketika shalat fardhu.
Ukuran qiyamnya seseorang yaitu dengan tegaknya tulang punggung mereka tanpa tegaknya kepala, sebab kepala disunnahkan untuk ditundukkan ketika shalat. Jika seseorang berdiri dengan posisi miring atau condong kesalah satu bagian kanan atau kiri yang tidak dapat disebutkan dalam kategori berdiri lurus maka tidak sah qiyam mereka sebab meninggalkan hal yang wajib.
3.              Membaca surat Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah merupakan rukun dari berbagai rukun shalat. Shalat salah seseorang tidak sah tanpa membacanya. Hal ini sudah menjadi kesepakatan diantara ulama dan tidak ada seorangpun yang menyelisihinya. Tidak dibedakan antara shalat fardhu maupun nafl. Hal ini didasari dengan sabda Rasul SAW dalam hadits yang menceritakan peristiwa orang yang jelek shalatnya setelah beliau memerintahkanya untuk takbiratul ihram beliau bersabda, “((ثم اقرأ ما تيسَّر معك من القرآن)) yang artinya ,” kemudian bacalah apa yag mudah bagimu dari bagian Al-Qur’an”.
Yang menjadi khilaf dikalangan fuqaha yaitu seputar apa yang dibaca dalam mahiyah shalat fardhu dan seputar tempat bacaan yang wajib dibaca tersebut.
-                 Mahiyah Shalat.
Jumhur fuqaha dari kalangan madzhab Malikiyyah, Syafiiyyah[18] dan Hanabilah pada riwayat masyhur dikalangan mereka bahwa membaca Al-Fatihah merupakan rukun dalam shalat, ia merupakan kewajiban yang harus ditunaikan, shalat seseorang tidak sah tanpanya. Hal ini berdasarkan dalil dari hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra., bahwa nabi SAW., bersabda, “لا صلاةَ لمن لم يقرأ بفاتحةِ الكتاب[19]” yang artinya, “ tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca fatihah kitab (surat Al-Fatihah)”. Begitu juga tersebut dalam riwayat lain bahwa Rasululloh SAW bersabda “((مَن صلَّى صلاة لم يقرأ فيها بأمِّ القرآن، فهي خِداج[20]” Barang siapa yang shalat tidak membaca surat Al-Fatihah maka sia-sia. Khidaj disini yaitu kurang sempurna, batal bahkan rusak.
-                 Hanafiyyah berpendapat bahwa yang diwajibkan ialah surat apa saja yang ada dalam Al-qur’an, tanpa mensyaratkan Al-Fatihah. Kalaupun Al-Fatihah wajib menurut mereka akan tetapi, mereka tidak menjadikanya sebagai rukun yang konsekuensi dari hal tersebut ialah diperbolehkanya shalat tanpanya hanya saja mendapat dosa. Sebab, wajib dalam madzhab Hanafi berbeda dengan fardhu. Bacaan Al-Fatihah bukan termasuk rukun atau fardhunya sholat akan tetapi masuk pada kategori yang diwajibkan dalam shalat, sebab madzhab Hanafi[21] membedakan antara rukun atau fardhiyyah dengan hal yang wajib.
Dalil yang melandasi pendapat mereka yaitu ﴿ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ayat dari surat Al-Mudatsir yangmereka berpendapat mengenai wajhul istidlalnya yaitu bahwa yang diwajibkan adalah muthlaq qira’ah apa yang ada dalam Al-Qur’an tanpa ada ketentuan. Adapun pendapat yang hanya menentukan bacaan Al-Fatihah mereka telah menaskh kemutlakan ayat tersebut dengan khabar mutawatir, sedang naskh kitab tidak diperbolehkan menurut Syafiiyah.
Pendapat Hanafiyyah menuai kritik dari jumhur, sebab penentuan Al-Fatihah dikuatkan dengan bayak hadits yang diriwayatkan dari berbagai jalur.
Jadi, pendapat yang benar adalah pendapat yang dipegangi oleh jumhur. Pada hadits yang mencantumkan sabda Rasul pada orang yang masih salah dalam shalatnya memang tidak disebutkan ketentuan bacaannya adalah Al-Fatihah sebab itulah jika ada seseorang yang tidak dapat membaca Al-Fatihah maka dapat diganti bacaan lain jika tidak memungkinkan untuk mempelajarinya terlebih dahulu. Jika seoang tersebut tidak memiliki sesuatupun dari hafalan Al-qur’an maka dapat digantikan dengan membaca سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر، ولا حول ولا قوَّة إلا بالل. Hal ini merupakan bentuk rukhsah, sebagaimana disebutkan dalam Nailul Authar[22] bahwa jika salah seorang tidak mampu membaca Al-fatihah berarti ia tidak mendapat taklif sebab ketidak mapuan tersebut, sebab kempuan seseorang untuk melaksanakan kewajiban syariat merupakan syarat adanya taklif. Dalam masalah ini, maka tidak mengapa mengganti bacaan Al-Fatihah dengan bacaan lain.
-                 Tempat atau waktu  membaca Al-Fatihah
          Membaca Al-Fatihah diwajibkan disetiap rekaat menurut jumhur seperti Malik, Imam Asy-Syafii, Ahmad dalam riwayat shahih madzhabnya dan lainya. Dalil yang mereka pegangi yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Qatadah dalam shahih Muslim bahwa nabi SAW., membaca surat Al-Fatihah dan surat lainya pada 2 rekaat pertama, dan hanya membaca Al-Fatihah pada 2 rekaat terakhir. Pada shahih tersebut juga disebutkan bahwa ketika shalat diwajibkan membaca surat Al-Fatihah disetiap rekaatnya.[23]
 Ulama lain seperti dhahiry berpendapat bahwa wajibnya membaca Al-fatihah hanya pada rekaat pertama saja, sebab hal itu telah memenuhi sabda Rasul yang berbunyi, “ tidak sah shalat salah seorang dari kalian tanpa membaca ummul kitab”. 
Hukum membaca Al-Fatihah tanpa Bahasa arab
Shalat dengan bacaan Al-fatihah tanpa Bahasa Arab tidak diperbolehkan menurut madzhab Maliki, Syafii[24] dan Hanbali. Imam Abu yusuf juga berpendapat demikian jika orang tersebut tidak dapat melafadzkanya dengan Bahasa Arab. Jika seseorang tersebut tidak dapat melafadzkanya dengan Bahasa Arab maka ia dapat mendengarkan bacaan orang lain, membacanya, atau diganti dengan tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan dzikir lainya. Hal ini pun dilakukan jika waktu shalat sudah benar-benar sempit sehingga tidak ada waktu untuk menghafalnya terlebih dahulu. Jika pada nyatanya seseorang memiliki waktu untuk mengahafal terlebih dahulu maka ia wajib menghafalnya untuk shalat.
Menurut imam Abu Hanifah[25] sah sholat seseorang yang membaca Al-Fatihah tanpa Bahasa Arab, seperti Bahasa Persia atau lainya. Hal tersebut berlaku bagi orang yang dapat membahasakan Arab atau tidak.
4.              Ruku’
 Ruku’ adalah gerakan membungkukkan badan dan kepala dengan kedua tangan diluruskan ke lutut kaki. Dengan tidak mengangkat kepala tapi juga tidak menekuknya. Juga dengan meuruskan punggungnya, sehingga bila ada air dipunggungnya tidak bergerak karena kelurusan punggungya.
Perintah untuk melakukan ruku’ adalah firman Alloh SWT., “ Wahai oorang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah tuhanmu dan perbuatlah kebaikan supaya kamu mendapat kemenangan.[26]
Dan juga hadits Rasul berikut ini. “ Dari Aisyah ra berkata, “ Aku melihat beliau SAW., ketika ruku’ meletakkan tanganya pada lututnya. (Muttafaq ‘Alaih).
Adapun Rasululloh SAW., bila ruku’ tidak mengangkat  kepalanya dan juga tidak menekuknya. Tetapi diantara keduanya.
Untuk mengetahui sahnya gerakan ruku’, posisi seperti ini harus terjadi dalam beberapa saat. Tidak boleh hanya berupa gerakan dari berdiri ke ruku’ tapi langsung bangun lagi. Harus ada jeda waktu sejenak untuk berada pada ruku’ yang disebut dengan istilah thuma’ninah.
                                 Perbedaan ruku laki-laki dan perempuan terletak pada tanganya. Laki-lakinya melebarkan tanganya atau merenggangkanya antara siku’ dengan perutnya. Sedangkan wanita melakukan sebaliknya, mendekatkan tanganya ketubuhnya.[27]
5.              Sujud
Sujud secara bahasa terdapat beberapa pengertian:
-                 Al-Khudhu’ yang artinya bersungkur
-                 At-Tazallul yaitu merendahkan diri badanya.
-                 Al-Mailu yaitu mencondongkan badan kedepan.
       Sedangkan secara syar’I, yang dimaksud dengan sujud menurut jumhur ulama adalah meletakkan 7 anggota badan ketanah, yaitu wajah, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung kedua tapak kaki.
Pensyariatan sujud
Al-Qur’an Al-Karim memerintahkan kita untuk melakukan sujud kepada Alloh SWt.,. Dasarnya yaitu hadits nabi “ Dari Ibnu Abbas ra., berkata, “Aku diperintahkan untuk sujud diatas 7 anggota. (Yaitu) wajah –beliau menunjuk hidungnya-, kedua tangan, kedua lutut dan kedua tapak kaki.” (HR. Bukhori dan Muslim).[28]
Manakah yang lebih dahulu diletakan, lutut atau tangan?
 Dalam masalah ini ada dua dalil yang sama-sama kuat namun menunjukkan cara yang berbeda. Sehingga hal ini menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama.
          Jumhur ulama umumnyaa mengatakan bahwa yang disunnahkan ketika sujud adalah meletakkan kedua lutut terlebih dahulu, baru kemudian kedua tangan lalu wajah.Dan ketika bangun dari sujud berlaku sebaliknya, yang diangkat adaah wajah dulu, kemudian kedua tangan baru terakhir lutut. Dasar dari praktek ini adalah hadits Rasul yang berarti, “ Dari Wail Ibnu Hujr berkata, “ Aku melihat Rasul Saw., bila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tanganya. Dan bila bangun dari sujud beliau mengangkat tanganya sebelum mengangkat kedua lututnya.” (HR. Khamsah kecuali Ahmad).
Namun, Al-Malikiyyah berpendapat sebaliknya. Menurut Malikiyyah yang disunnahkan untuk diletakkan terlebih dahulu adalah kedua tangan baru kemudian kedua lututnya. Dalil mereka dalam artinya yaitu “ Dari Abu Hurairah ra., berkata bahwa Rasululloh Saw., bersabda, “ Bila kamu sujud janganlah seperti duduknya unta. Hendaklah kamu letakkan kedua tanganmu terlebih dahulu baru kedua lutut.” (HR. Abu Daud, Nasai, Ahmad dan Tirmidzi).
Ibnu Sayid Nas berkata bahwa hadits yang menyebutkan tentang meletakkan tangan terlebih dahulu lebih kuat. Namun Al-Khoththobi mengatakan bahwa hadits ini lemah dari hadits yang sebelumnya. Demikianlah, para ulama berbeda pendapat tentang mana yang sebaiknya didahulukan ketika melakukan sujud. Dan Imam Nawawi berkata bahwa diantara keduanya tidak ada yang lebih rajih. Artinya, menurut beliau keduanya sama-sama kuat dan sama-sama bisa dipraktekkan.
6.              Duduk  tasyahud akhir
Tasyahud akhir merupakan suatu yang ma’lum bagi kita semua. Dalam tasyahud akhir terdapat sebuah bacaan yang kita kenal sebagai bacaan tasyahud atau lebih masyhur dengan nama tahiyyat. Tahiyyat yang masyhur digunakan oleh Jumhur yaitu “التحيات لله الصلوات والطيبة، السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته،السلام علينا وعلى عبادالله الصالحين ، أشهد أن لا إله إلاّ الله وأنّ محمداً رسولالله [29]"
Bacaan tasyahud ada berberapa pendapat. Pendapat pertama yaitu pendapat jumhur ulama dari madzhab Hanafi[30] dan Hanbali serta ada kemiripan pada madzhab Maliki. Sedangkan pada madzhab Syafii mereka menggunakan bentuk yang kedua yaitu “Allohumma shalli ‘ala Muhammad”.
Duduk tasyahud akhir merupakan rukun shalat menurut jumhur ulamatermasuk madzhab Hanafiy[31]. Jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk untuk tasyahud akhir adalah duduk tawarruk. Posisinya hampir sama dengan duduk iftirasyi namun posisi kaki kiri tidak diduduki melainkan dikeluarkan kearah bawah   kaki kanan. Sehingga duduknya diatas tanah tidak lagi diatas lipatan kaki kiri seperti pada duduk iftirasyi.
Asy-Syafiiyyah dan Hanabilah sama-sama berpendapat bahwa untuk duduk tasyahud akhir, yang disunnahkan adalah duduk tawarruk.
Menurut Hanafiyyah, posisi duduk tasyahud akhir sama dengan posisi duduk diantara dua sujud, yaitu duduk iftirasyi. Dalilnya yaitu hadits berikut:
“ Dari Wail Ibnu Hajar, “ Aku datang ke Madinah untuk melihat sholat Rasululloh SAW.,. Ketika beliau duduk tasyahud, beliau duduk iftirasyi dan meletakkan tangan kirinya diatas paha kirinya dan menasabkanya kakinya yang kanan.” (HR. At-Tirmidzi)[32]
Adapun malikiyyah sebagaimana diterangkan didalam kitab Asy-Syarhu Shaghir menyunahkan untuk duduk tawarruk baik padatasyahud awal maupun tasyahud akhir. Dalilnya adalah hadits nabi: Dari Ibnu Mas’ud berkata bahwa Rasululloh SAW., duduk ditengah sholat dan akhirnya dengan duduk tawarruk.
D.            Rukun Shalat yang Diperselisihkan
1.               Niat  yang berbarengan dengan takbiratul ihram
Menjadikan niat sebagai syarat  sah shalat sudah menjadi sebuah kesepakatan dikalangan ulama. Hal ini dikarenakan bahwa shalat merupakan ra’sun (puncak, kepala) dari berbagai bentuk ibadah yang telah disyariatkan oleh Alloh dengan maslahat yang tak dapat kita lihat dengan mata telanjang.
Adapun dalam menentukan apakah niat masuk dalam kategori rukun atau syarat ulama berbeda pendapat.
Ø   Menurut Madzhab Hanafi
Niat dalam shalat termasuk pada kategori syarat.[33] Mereka mengatakan bahwa rukun merupakan gerakan atau amalan dhahir, sedangkan amalan batin termasuk kategori syarat.
Ø   Menurut Madzhab Syafi’i:
Niat dalam shalat menurut madzhab Syafi’I masuk dalam kategori rukun. Imam Nawawi dalam kitabnya Syarh al-Muhadzab[34] menyebutkan bahwa niat merupakan suatu hal wajib bahkan kewajiban tersebut mencapai derajat fardhu. Niat merupakan rukun dari berbagai rukun shalat. Pendapat ini dilandasi dengan hadits nabi yang berbunyi, “ إنما الأعمال بالنيات، و إنما [35] لكلَ امرئ ما نوى[36] yang artinya sesungguhnya segala bentuk perbuatan itu harus dengan niat, dan setiap orang itu dinilai berdasarkan pada niatnya.
Beliau menambahkan bahwa niat ialah bentuk qurbah (kedekatan pada Alloh) yang bersifat mahdhah[37] sehingga jika amalan dikerjakan tanpanya menjadi tidak sah.
Ibnu Mundzir menyebutkan dalam kitabnya bahwa ulama telah berijma’ bahwa shalat seseorang tidak sah kecuali harus disertai niat.
Dalam riwayat lain madzhab Syafi’I menyebutkan bahwa niat dalam shalat merupakan syarat bukan rukun sebagaimana kedudukan wudhu dan menghadap kiblat. Ulama yang melazimi pendapat ini ialah imam Abu Thayib, Ibnu Shibagh, dan juga merupakan pendapat yang dpilih oleh imam Al-ghazali.
Hukum melafadzkan niat menurut madzhab Syafi’i.
Menurut sebagian ulama madzhab mengatakan bahwa niatshalat harus dalam hatidan dilafadzkan pada lisan.
Waktu pelaksanaan niat, Imam asy-Syafi’I menyebutkan dalam kitabnya Al-Mukhtashar bahwa jika salah seorang dari kalian telah ihram (takbir) niatlah pada waktu itu, sebab shalatnya terletak pada saat takbir bukan sebelum atau sesudahnya. Niat dilaksanakan  beriringan dengan pengucapan takbir. Dalam hal ini ulama Syafiiyyah mensyaratkan hal tersebut sebagai berikut:
Ø   Niat dilakukan dalam hati, dengan melakukan takbir pula pada saat yang sama.
Ø   Tidak wajib dilakukan bersamaan dengan takbir. Hal ini dikarenakan supaya pada saat takbir niat yang kita kerjakan sudah sempurna. Pendapat ini terbagi menjadi dua.
a.              Pendapat Ibnu Manshur bin Mihran Syeikh Abu Bakr al-Awdani, beliau mewajibkan supaya lebih mendahulukan niat dari awal takbir dengan suatu hal yang ringan supaya awal niat tidak tertinggal dari awal takbir.
b.              Yang dimaksud dengan berdekatan yaitu pada saat takbir niat selalu mengiringinya hingga akhir takbir.
Sebagai jalan tengah, Imam al-Haramain  dan imam al-Ghazali menyebutkan dalam kitabnya al-Basith bahwa dalam masalah ini kita tidak diwajibkan untuk memperdalam bagaimana muqaranah yang dimaksud. Akan tetapi kita cukup mengikuti urf muqaranah yang ada dan yang umum dipraktekan, dengan syarat kita dapat menghadirkan niat kita dan tidak melalaikanya dari shalat.
Menta’yin (menentukan) shalat. Imam Nawawi[38] berpendapat bahwa disyaratkan menentukan shalat dalam niat hanya terjadi pada shalat fardhu. Kaifiyahnya yaitu seseorang menentukan shalat yang akan ia kerjakan apakah shalat dhuhur atau asar, wajaib atau nafl. Hanya saja pada ketentuan wajib atau nafl ulama berbeda pendapat. Abu Ishaq berpendapat wajib guna membedakan antara dhuhurnya anak kecil atau orang deawasa. Dhuhurnya shalat munfaridh atau jama’ah.
Adapun menurut Abu Ula dari Abu Hurairah: Ia cukup meniatkan dhuhur atau asar saja, sebab keduanya jelas shalat wajib.
Kesimpulanya, jika salah seorang hendak shalat fardhu maka hendaknya ia meniatkan 2 hal terpenting[39]:
a.              Niat perbuatanya, maksudnya yaitu niat akan shalat.
b.              Menentukan jenis shalatnya, maksudnya yaitu shalat dhuhur atau asar.
Begitu juga dalam shalat nafilah. Apabila yang dikerjakan adalah sholat nafl ratibah atau nafl mutlaq  seperti shalat witir, sunnah fajar maka tidak sah jika tidak ditentukan jenisnya. Sedang pada shalat nafl ghair ratibah cukup dengan niat shalat saja.
Ø   Menurut Madzhab Hanbali
Tidak ada perbedaan dikalangan ulama mengenai wajibnya niat dalam shalat dan shalat tidak sah tanpa niat. Apabila shalat yang dilakukan adalah shalat wajib, maka niat untuk shalat yang wajib tersebut harus jelas, Dhuhur, Asar atau yang lainya. Dengan demikian seseorang dalam kaitanya dengan shalat wajib membutuhkan niat untuk 2 hal, yaitu melakukan dan menentukan.[40]
2.              I’tidal
I’tidal merupakan gerakan shalat berupa tegaknya tubuh  yang dilakukan usai melaksanakan ruku’. Para ulama berbeda pendapat apakah I’tidal termasuk dalam rukun atau hanya sebagai gerakan yang wajib dilakukan saja sehingga yang meninggalkanya berdosa tanpa ada batal dalam shalat atau ia adalah rukun sehingga sholat seseorang tidak sah tanpa salah satu rukunya dan jika terlupa mengharuskan adanya sujud sahwi.
Menurut madzhab Hanafy I’tidal merupakan bagian sholat dalam kategori hal yang wajib dikerjakan dalam shalat bukan rukun shalat.[41]
Namun, sebagian ulama madzhab ini seperti abu Yusuf dan yang lain mengatakan bahwa i’tidal adalah rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Menurut mereka jika seseorang shalat tanpa i’tidal maka shalatnya batal dan tidak sah.
Adapun pada madzhab Syafi’I I’tidal merupakan rukun shalat.[42] Pendapat imam Asy-Syafi’i juga diamini oleh imam Malik[43] dan Ahmad[44] dalam madzhabnya sebagaimana yang tertera dalam kitab Al-Mughni bahwa i’tidal merupakan sebuah rukun dengan dalil sabda Rasululloh pada orang yang masih keliru dalam shalatnya. Dalil adanya I’tidal yaitu hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra., ketika  dirinya menyifati sholat nabi ia berkata, “ Rasul SAW., ketika telah mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau tidak bsersujud kecuali setelah tubuhnya benar-benar dalam posisi berdiri yang seimbang”.[45] Alasan lain yang dilazimi pendapat ini yaitu bahwa rasululloh SAW., selalu beri’tidal ketika sholat dan kita sebagai umatnya wajib mengikuti gerakan Rasululloh sebagaimana termaktub dalam sebuah hadits, “ sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku sholat”.
Madzhab Syafii mensyaratkan sahnya I’tidal dengan hal-hal berikut:
-                 Seorang yang shalat tidak meniatkan I’tidal tersebut kecuali untuk ibadah.
-                 Tenang ketika posisi I’tidal dengan kadar waktu membaca tasbih
-                 Tidak memperpanjang I’tidalnya sebagaimana lamanya berdiri ketika membaca Al-fatihah. I’tidal merupakan rukun yang rentang waktunya pendek sehingga tidak diperbolehkan memperpanjangnya.[46]
3.              Duduk diantara dua sujud
Duduk diantara dua sujud merupakan rangkaian dari berbagai rukun sholat menurut madzhab Syafi’i[47]. Pendapat ini didasari dengan sabda nabi kepada seseorang yang masih keliru dalam sholatnya, beliau bersabda, “ kemudian bangkitlah sampai kau benar-benar pada kondisi duduk yang seimbang”.[48] Dalam sebuah riwayat juga disebutkan, “حَتّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَالِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِهَا”. Yang artinya “sampai kamu benar-benar tenang dalam posisi duduk, dan lakukanlah hal seperti itu pada setiap sholatmu”. Pendapat seperti ini juga diamini oleh madzhab Hanbali[49], dan Maliki.[50] Adapun madzhab Hanafy[51] mengatakan bahwa duduk diantara dua sujud merupakan suatu yang wajib, disayariatkan untuk memisahkan antara 2 sujud tersebut. Mereka tidak menganggapnya sebagai suatu yang farhu atau sebagai rukun sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya mengenai perbedaan farhu atau rukun dengan wajib pada madzhab Hanafy.
Posisi duduknya adalah duduk iftirasyi[52], yaitu dengan duduk melipat kaki kebelakang dan bertumpu pada kaki kiri. Maksudnya kaki kiri yang dilipat diduduki, sedangkan kaki yang kanan dilipat tidak diduduki namun jari-jarinya ditekuk sehingga menghadap kiblat. Posisi kedua tangan diletakkan pada kedua paha dekat dengan lutut dengan menjulurkan jari-jarinya.
4.              Membaca tasyahud dan shalawat nabi
Membaca shalawat nabi dalam sholat merupakan pondasi shalat yang menjadi perselisihan dikalangan ulama. Hal ini dipacu oleh perbedaan istidlal atas suatu nash maupun ketiadaanya. Para fuqaha dari madzhab Syafii, Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa membaca tasyahud dalam shalat adalah sebuah fardhu atau rukun. Perbedaan yang terjadi dikalangan mereka hanya sekadar miqdar atau ukuran lafadz tasyahud yang digunakan.
Asy-Syafii[53] mengatakan dalam kitabnya Al-Umm, bahwa bacaan tasyahud yang paling baik yaitu “ At-Tahiyyatu as-Shalawatu At-Thayyibatu lillah, As-Salamu ‘alaika ayyhuha an-nabiyyu warahmatulloh wabarakatuhu. Salamun ‘alaina wa’ala ‘ibadillahi as-shalihin. Asyhadu an laa ilaha illalloh, wa asyhadu anna muhammada rasululloh”.Beliau menambahkan bahwa bacaan tersebut adalah bacaan paling baik sebab beliau mengahruskan adanya bacaan tasyahud dengan bacaan sholawat.[54]
          Berbeda dengan madzhab lainya. Madzhab Hanafi[55] berpendapat bahwa bacaan atau doa tasyahud hanyalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan dalam sholat.
5.              Salam
Ada dua salam dalam shalat, yaitu salam pertama dan salam kedua. Salam pertama adalah fardhu menurut para fuqaha, seperti Malikiyyah dan Syafiiyyah. Sedangkan salam yang kedua adalah sunnah menurut kedua madzhab tersebut.
Namun, berbeda halnya dengan Hanabilah yang berpendapat bahwa kedua salam tersebut hukumnya fardhu, kecuali pada shalat jenazah, shalat nafilah, sujud tilawah dan sujud syukur. Pada keempat perbuatan tersebut yang hukumnya fardhu hanya pada salam pertama saja.[56]
6.              Tertib
Tartib yang dimaksudkan disini yaitu urut dalam pelaksanaanya. Artinya, semua rukun-rukun shalat yang dijelaskan dimuka dijalankan tidak secara acak-acakan, melainkan yang satu harus didahulukan dari yang lain sebagaimana semestinya.
          Dengan demikian, bila urutanya tidak teratur sesuai dengan mestinya atau apa yang telah ditetapkan, maka ibadah itupun menjadi tidak sah juga.
7.              Tuma’ninah
Menurut jumhur ulama seperti Al-Malikiyyah, Syafiiyah dan Hanabilah, thuma’ninah merupakan rukun shalat, yaitu pada gerakan ruku’, i’tidal, sujud dan duduk diantara dua sujud.
Thuma’ninah yaitu kondisi dimana seseorang tegap dan benar-benar pada kondisi yang seharusnya atau telah sempurna gerakan sholatnya. Dalil akan keharusan seseorang thuma’ninah dalam sholat yaitu  sebuah riwayat dari   Hudzaifah ra., bahwa ia melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Ketika telah selesai dari shalatnya beliau memanggil orang tersebut dan berkata kepadanya, “ Kamu belum shalat, bila kamu mati maka kau mati tidak diatas fitrah yang telah Alloh tetapkan risalah nabi diatasnya.” (HR. Bukhori).
E.            Kesimpulan
Rukun shalat, perkara urgent yang harus diketahui setiap muslim. Banyaknya perbedaan hanyalah rahmat yang Alloh anugerahkan pada kita. Semua pendapat memiliki landasan sendiri yang patut kita hormati.
Pada makalah yang sederhana ini  penulis hanya melakukan komparasi antar madzhab sehingga tidak banyak melakukan tarjih dari berbagai pendapat tersebut.
Berikut ini kami lampiran tabel perbandingan dari ke-4 mazhab tentang rukun shalat yang kami kutip dari kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili.
Mazhab
Hanafi
Malik
Syafi`i
Ahmad
1. Niat
X
Rukun
rukun
x
2. Takbiratul Ihram
Rukun
Rukun
rukun
Rukun
3. Berdiri
Rukun
Rukun
rukun
Rukun
4. Membaca
Rukun
Rukun
rukun
Rukun
5. Ruku`
Rukun
Rukun
rukun
Rukun
6. I`tidal/ Bangun Dari Ruku`
X
Rukun
rukun
Rukun
7. Sujud
Rukun
Rukun
rukun
Rukun
8. Duduk Antara Dua Sujud
X
Rukun
rukun
Rukun
9. Duduk Tasyahhud Akhir
Rukun
Rukun
rukun
Rukun
10. Membaca Tasyahhud Akhir
X
Rukun
rukun
Rukun
11. Membaca Shalawat Atas Nabi
X
Rukun
rukun
Rukun
12. Salam
X
Rukun
rukun
Rukun
13. Tartib
X
Rukun
rukun
Rukun
14. Tuma`ninah
X
Rukun
x
Rukun
Demikianlah yang dapat penulis paparkan dalam makalah ini. Bila banyak salah dalam kata dan penulisan mohon maklumatnya, sebab keterbatasan pada dii penulis baik keterbatasan pikiran, waktu dan usaha.Kritik dan saran yang membangun penulis terima dengan senang hati. Wallohu Ta’ala A’lam.


Daftar Pustaka

Al-Quran Al-Karim
Basyir, Abi Thahir Aba Ibrahim bin ‘Abdushamad bin,  At-Tanbih ‘ala Mabadi’ At-Taujih, cet. pertama, (Lebanon: Dar Ibnu Hazm, 2007 M ), jild. 1
Dardir, Ad;  Ahmad bin Muhammad nin Ahmad, Aqrabu al-Masalik Limadzhabi Imam Malik, (Negeria: Maktabah Ayyub, 2000 M).
Hadi, Abu Suraih Muhammad ‘Abdul, At-Taysir fi Fiqhi al-Imam Ibnu Taimiyah,(Kairo: Dar adz-Dzahabiyyah, tt)
Hanafi, al; Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman, Ad-Dur al-Mukhtar, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2006 M), jild. 1
Hanafy, al; Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasany, Badai’ Shanai fi Tartib Asy-Syarai’, cet. Kedua, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2003 M), jild. 1
Hanafy, al; Badruddin Al-Ainy, Al-Binayah Syarhul Hidayah, (Lebanon: Dar Kutub   Ilmiyyah, 2000 M), jild. 2
Hanafy, al; Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi Ibnul Hammam, Fathul Qadir,cet. Pertama, ( Mesir: Al-Kubra Al-Amiriyyah, 1315 H), jild.1
Jazairy, al;  Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, cet. Ketiga,
Khin, Musthafa dan Mushtafa Bugha, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Imam Syafi’I, cet. Keempat, (Lebanon: Dar Al-Qalam, 1992 M),  jild. 1
Khiraqy, al;  Abu Qasim Umar bin Husain, Al-Mughni Syarh Mukhtashar Al-Khiraqi, cet. pertama, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2008 M), jild. 1
Madkur, Ibrahim, Mu’jam wasith, (tt; tp; tt), hlm. 395
Mu’jam Mushtalahat al-Fiqhiyyah
Nawawi, An;  Taqiyuddin Yahya bin Syaraf, Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2011), jild. 4
Nisaburi, an; Abu Husain Muslim bin Al-Qusyairi, Shahih Muslim, ( Riyadh: Dar Thaibah, 1426 H), Jild. 2
Qudamah , Ibnu, Al-Mughni, cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), terjemah oleh. Masturi Ir Nisaburi, an; Abu Husain Muslim bin Al-Qusyairi, Shahih Muslim, ( Riyadh: Dar Thaibah, 1426 H), Jild. 2
Samarqandy, As;Alauddin, Tuhfatul Fuqaha,cet. Pertama, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 1984 M), jild.1
Sarwat, Ahmad, Kitab Sholat, (ttp: tp, tt ), jild.1 , hlm. 62
Saurah , Abu ‘Isa Muhammad bi ‘Isa bin, Sunan at-Tirmidzi, ( Lebanon: Dar al-Fikr, 2009     M). jild. 1, hlm. 272, no hadits. 62
Syafi’I, asy; Muhammad bin Idris, Al-Umm, cet. Pertama, (Lebanon: Dar Al-Fikr, 2009 M), jild. 1
Syafi’I, asy; Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy, Kifayatul Akhya fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo: Al-Quds, 2007 M),  jild. 1
Syaukani, Asy;  Muhammad bin Ali, Nailul Authar, cet. pertama, (Kairo: Dar Ibnu Al-Jauzi, 1427 H), jild. 2

Sragen, 8 Maret 2016


[1]Madkur, Ibrahim, Mu’jam wasith, (tt; tp; tt), hlm. 395
[2] Ibid, hlm. 547
[3] Mu’jam Mushtalahat al-Fiqhiyyah
[4] ManshurAr-Rifa’i Ubaid, Al-‘Ibadah fi Fiqhi Al-Islam, cet. Pertama, (Kairo: Dar Tsaqafiyyah, 2001 M), hlm. 169
[5]   Mahmud Muhammad Thanthawi, Ushul Fiqhi Al-Islami, cet. Ketiga, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001 M), hlm. 56
[6] Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, cet. Ketiga, ( Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2006 M), jild. 1, hlm. 110-111.
[7] Ibid, hlm. 111
[8] Ibid.
[9] Bukhori,
[10] Dikeluarkan dari hadits Imam Syafi’i (1/34), Ibnu Abi Syaibah (1/208, no. 2378), Ahmad (1/123, no. 1006), Abu Daud (1/167, no. 617), Tirmidzi (1/8, no. 3), ia mengatakan bahwa hadits diatas adalah hadits yang paling shahih yang membicarakan masalah ini (takbir).
Abu ‘Isa Muhammad bi ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, ( Lebanon: Dar al-Fikr, 2009 M). jild. 1, hlm. 272, no hadits. 62
[11] Muttafaq ‘alaih
[12] Badruddin Al-Ainy al-hanafy, Al-Binayah Syarhul Hidayah, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2000 M), jild. 2, hlm. 197
[13]Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy ay-Syafi’I, Kifayatul Akhya fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo: Al-Quds, 2007 M),  jild. 1,hlm. 167
[14] Ahmad bin Muhammad nin Ahmad Ad-Dardir, Aqrabu al-Masalik Limadzhabi Imam Malik, (Negeria: Maktabah Ayyub, 2000 M ), hlm. 15.
[15] Abu Qasim Umar bin Husain al-Khiraqy, Al-Mughni Syarh Mukhtashar Al-Khiraqi, cet. pertama, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2008 M), jild. 1, hlm. 370
[16] Qs. Al-baqarah: 238
[17] Diriwayatkan oleh Bukhori dan Nasai
[18] Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy ay-Syafi’I, Kifayatul Akhya fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo: Al-Quds, 2007 M),  jild. 1, hlm. 169
[19] Muttafaq ‘alaih
[20] Muttafaq ‘alaih
[21] Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasany Al-Hanafy, Badai’ Shanai’, cet. Kedua, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2003 M), jild. 1, hlm. 525
[22] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nailul Authar, cet. pertama, (Kairo: Dar Ibnu Al-Jauzi, 1427 H), jild. 2, hlm. 211
[23] Abu Husain Muslim bin Al-Qusyairi an-Nisaburi, Shahih Muslim, ( Riyadh: Dar Thaibah, 1426 H), Jild. 2, hlm. 184
[24] Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy ay-Syafi’I, Kifayatul Akhyar  fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo: Al-Quds, 2007 M),  jild. 1, hlm 171.
[25]‘Alauddin As-Samarqandy,  Tuhfatul Fuqaha,cet. Pertama, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 1984 M), jild. 1, hlm. 130
[26] QS. Al-Hajj: 77
[27] Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi Ibnul Hammam Al-Hanafy,Fathul Qadir,cet. Pertama, ( Mesir: Al-Kubra Al-Amiriyyah, 1315 H), jild.1, hlm. 193-208 dan Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Al-Hanafy, Ad-Dur al-Mukhtar, cet. Pertama, (Dar Kutub Ilmiyyah, 2002 M), jild. 1, hlm. 416     
[28] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nailul Authar,  hlm. 253
[29] Diriwayatkan oleh jamaah.
[30] Al-Wajiz fi Fiqhi islam, hlm.
[31]Badruddin Al-Ainy al-hanafy, Al-Biyanah Syarh Hidayah, hlm. 178
[32] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nailul Authar, hlm. 273
[33]Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasany Al-Hanafy, Badai’ Shanai fi Tartib Asy-Syarai’, cet. Kedua, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2003 M), jild. 1, hlm. 507
[34] Taqiyuddin Yahya bin Syaraf An; Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2011).jild. 4, hlm. 256
[35] Dalam kitab Syarh Muhadzab disebutkan tanpa kata (إنما)
[36] Bukhori
[37] Qurbah Mahdhah yaitu shalat seseorang tidak sah tanpa adanya.
[38] Taqiyuddin Yahya bin Syaraf An; Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2011).jild. 4, hlm. 258
[39] Ibid, hlm. 260
[40] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), terjemah oleh. Masturi Irham dan Muhammad Abidun Zuhri, jild. 2, hlm.13
[41]  Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Al-Hanafy, Ad-Dur al-Mukhtar, hlm. 64
[42] Musthafa Khin dan Mushtafa Bugha, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Imam Syafi’I, cet. Keempat, (Lebanon: Dar Al-Qalam, 1992 M),  jild. 1, hlm. 134
[43] Abi Thahir Aba Ibrahim bin ‘Abdushamad bin Basyir,  At-Tanbih ‘ala Mabadi’ At-Taujih, cet. pertama, (Lebanon: Dar Ibnu Hazm, 2007 M ), jild. 1, Hlm. 415
[44] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jild. 2, hlm. 185
[45]Muslim, no. 498
[46] Musthafa Khin dan Mushtafa Bugha, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Imam Syafi’I, jild. 1, hlm. 134-135
[47] Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy ay-Syafi’I, Kifayatul Akhya fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo: Al-Quds, 2007 M),  jild. 1, hlm. 162
[48] Telah ditakhrij sebelumnya.
[49] Abu Suraih Muhammad ‘Abdul Hadi, At-Taysir fi Fiqhi al-Imam Ibnu Taimiyah,(Kairo: Dar adz-Dzahabiyyah, tt) hlm. 29.
[50]Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ad-Dardir, Aqrabu Masalik limadzhabi Imam Malik,  (Negeria: Maktabah Ayyub, 2000 M), hlm. 16
[51] Alauddin As-Samarqandy,  Tuhfatul Fuqaha,cet. Pertama, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 1984 M), jild. 1, hlm. 136
[52] Ahmad Sarwat, Kitab Sholat, (ttp: tp, tt ), jild.1 , hlm. 62
[53] Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, cet. Pertama, (Lebanon: Dar Al-Fikr, 2009 M), jild. 1, hlm. 134
[54] Ibid, hlm. 135
[55]  Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Al-Hanafy, Ad-Dur al-Mukhtar, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2006 M), jild. 1, hlm. 68
[56]  mughni jild.1, hlm. 177, kasyaf qina 1/ 454

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khitbah Melalui Media Komunikasi

HUKUM MENERIMA WAKAF DARI ORANG KAFIR

Cara Mengganti Email Blog di blogger