Rukun Sholat Menurut Empat Madzhab
Syariat Islam merupakan syariat yang syumul.
Ia mencakup seluruh bidang dalam lini kehidupan manusia. Islam tidak hanya
mengenalkan dan mengajarkan ajaranya dengan global saja, bahkan syariat itu
sendiri menjelaskan kandungan agama dengan sangat terperinci.
Sholat. Ia merupakan salah satu syariat Islam
yang tak seorangpun diperbolehkan meninggalkanya. Dalam kondisi apapun. Hanya
saja Islam yang rahmatan lil’alamin memberikan keringanan bagi siapa
yang hilang qudrah dalam tatacara pelaksanaanya, tanpa kebolehan untuk
meninggalkanya.
Dalam sholat, Alloh telah menashkan
baik secara dhahir maupun khofy tatacara pelaksanaanya. Ia telah
menggariskan sebuah rukun dan syarat yang harus dilaksanakan bagi seorang hamba
ketika hendak melaksanakan sholat. Melihat betapa urgenya sebuah rukun yang merupkan
syarat sahnya Sholat, maka pada tulisan sederhana ini penulis ingin memapakarkan
rukun-rukun sholat. Adapun dalam makalah ini, penulis memaparkan pendapat Syafi’iyyah
dan Hanafiyyah saja dikarenakan kedua pendapat inilah yang sepertinya lebih sering tampak terjadi ikhtilaf diantara
mereka.
A.
Devini Rukun dan Shalat
Rukun secara
bahasa yaitu salah satu unsur yang dijadikan sandaran atas suatu perkara.
Dikatakan pula bahwa rukun ialah bagian dari sesuatu itu sendiri[1].
Sedangkan secara istilah fiqih, rukun ialah
Shalat secara
bahasa ialah ad-du’a yang berarti doa.[2]
Adapun sholat
secara istilah yaitu suatu ibadah yang terdiri dari berbagai gerakan yang
diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.[3]
B.
Faraidh Shalat
Fardhu ialah segala bentuk perbuatan yang mendapat pahala jika
dikerjakan, mendapat iqab atau balasan apabila ditinggalkan terutama syiar yang
diperintahkan oleh Syari’ dengan tegas dengan dalil qath’i..
Fardhu dalam shalat dapat diartikan sebagai rukun dan wajib menurut Malikiyyah, dan Syafiiyyah[4]. Sebagai diketahui
bahwa faraidh yaitu bagian-bagian yang jika hilang darinya menyebabkan tidak
ada pangkal atau kepala dari shalat tersebut.
Adapun fardhu
dan wajib menurut Hanafiyyah dibedakan. Fardhu menurut mereka yaitu segala
perbuatan yang dituntut oleh Syari’ (Alloh Swt.,) supaya dikerjakan dengan tuntutan
yang harus dengan dalil qath’i yang tidak ada keraguan didalamnya.[5]
Adapun beda fardhu dengan wajib yaitu pada dalil yang digunakan berupa dalil
qath’i pada fardhu dan dalil dhany pada wajib seperti membaca Al-Fatihah dalam
shalat.
Para imam madzhab memiliki jumlahrukun tersendiri dalam shalat:
-
Madzhab Hanafiyyah[6] mengatakan, rukun
terbagi menjadi 2: rukun asli dan rukun zaid
(tambahan). Rukun asli yaitu rukun yang dapat menggugurkan kewajiban seseorang
ketika dalam kondisi lemah. Seseorang tadi tidak diharuskan untuk mengganti
dengan perbuatan lain atas hilangnya kewajiban tersebut. Sedang rukun tambahan
yaitu rukun yang bisa jadi gugur dalam beberapa keadaan, walaupun seorang
tersebut mampu untuk melakukanya seperti membaca surat, sehingga dalam madzhab
mereka ma’mum hanya mengikuti bacaan imam.
Rukun sholat yang disepakati dalam madzhab mereka ada empat baik dari rukun ashli maupun tambahan. Yang termasuk rukun asli yaitu qiyam, ruku’ dan
sujud. Sedang rukun tambahan yaitu qiraah. Empat hal inilah yang dijadikan hakikat shalat dalam madzhab mereka, sehingga
jika salah seorang meninggalkan salah satu dari keempat hal diatas maka ia tidak dapat dikatakan telah shalat. Pada permasalahan sholat terdapat berbagai hal yang ia bukan
hakikat sholat akan tetapi berpengaruh pada keabsahan nilai sholat, diantara
hal tersebut terbagi menjadi dua. Pertama, yang keluar dari mahiyah atau
gerakan dhohir shalat yaitu suci dari hadats dan khabats, menutup aurat, menghadap
kiblat, masuk waktu sholat, niat, takbir ihram,semua ini masuk pada kategori syarat
sah sholat.
Yang kedua yaitu, hal-hal yang ada dalam rangkaian sholat akan tetapi
tidak termasuk hakikat sholat itu sendiri yaitu, qiraah ketika pada posisi
qiyam, ruku’, sujud dan lainya.
-
Malikiyyah berpendapat bahwa
faraidh sholat ada 15 diantaranya, niat, takbir ihram, qiyam pada sholat
fardhu, membaca Al-Fatihah, berdiri saat membaca Al-fatihah, ruku’, I’tidal,
sujud, duduk dianatara 2 sujud, salam, duduk tasyahud, salam, thuma’ninah,
tartib atau urut, niat ikut imam jika posisinya sebagai ma’mum.
Kesamaan fardhu shalat madzhab Maliki dan Hanafi terletak pada 4 hal,
yaitu: berdiri bagi yang mampu, ruku’, sujud, dan qira’ah. Pada poin qiraah
terjadi ikhtilaf antara madzhab Hanafi dan selainya. Madzhab Hanafi mengatakan
bahwa yang diwajibkan dibaca ketika sholat ialah apa saja dari Al-qur’an tanpa
menentukan Al-fatihah, sedang madzhab Maliki didukung oleh madzhab lainya mengatakan
bahwa qiraah yang diwajibkan untuk dibaca ketika sholat adalah surat
Al-fatihah.
-
Syafiiyah[7] mengatakan bahwa
fardhu sholat terdapat 13 fardhu. Lima fardhu qauly atau yang berupa ucapan,
dan delapan fardhu fi’li atau yang berupa gerakan. 5 qauli tersebut ialah
takbir ihram, membaca Al-Fatihah, tasyahud akhir, shalawat atas nabi, salam
pertama. Fardhu fi’liyahnya yaitu niat, qiyam bagi yang mampu, ruku’, I’tidal,
sujud pertama dan kedua, duduk diantara 2 sujud, duduk akhir atau tasayahud
akhir, tartib. Adapun thuma’ninah masuk pada syarat sempurnanya ruku’, I’tidal,
sujud, duduk diantara 2 sujud, dan duduk tasyahud harus dengan thuma’ninah
walaupun tidak termasuk rukun tambahan.
-
Hanabilah[8] mengatakan bahwa
faraidh shalat ada 14 yaitu, qiyam, takbir ihram, membaca
Al-fatiha, ruku’ dan bangkit darinya, I’tidal, sujud dan bangkit darinya, duduk
diantara 2 sujud, tasyahud akhir, duduk pada tasyahud akhir dan 2 salam,
thuma’ninah pada setiap rukun, tartib pada bagian yang fardhu, dan 2 salam.
C.
Rukun Shalat yang Disepakati
1.
Takbiratul Ihram
Takbir pada permulaan sholat disebut sebagai takbiratul ihram
dikarenakan dengan takbir tersebut seseorang telah haram baginya melakukan
segala sesuatu yang pada sebelumnya dihalalkan sebab dapat merusak bahkan
membatalkan shalat, seperti makan, minum, berbicara dan lain sebagainya.
Takbiratul ihram dimulai setelah seseorang meniatkan diri dengan mantap
hendak melaksanakan shalat. Shalat seseorang tidak sah dan tidak dianggap
adanya jika tidak melafadzkan takbir tersebut bagi yang mampu. Hal ini berdasar
sabda nabi SAW., “((صلوا
كما رأيتموني أصلي))[9], yang artinya “ shalatlah kalian sebagaiamana kalian melihatku shalat”.
Rasululloh SAW., juga bersabda (([10]((مِفتاحُ الصلاة الوضوءُ، وتحريمُها التكبير، وتحليلُها التسليم yang artinya, “
kunci shalat adalah wudhu, pengharamnya adalah takbir, penghalalnya adalah
salam”.
Dalam hadits lain juga disebutkan, bahwa suatu
hari seusai shalat ada seorang lelaki yang datang pada nabi SAW., lalu
mengucapkan salam pada nabi, kemudian nabi SAW., membalasnya dan bersabda, “
kembali dan ulangilah shalatmu! Sungguh engkau sama sekali belum shalat”. Maka
kemudian, si lelaki tersebut kembali dan mengulang shalatnya. Nabi SAW., mengatakan hal
yang serupa hingga tiga kali, sehingga silaelakipun berkata, “ Demi yang
mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada yang lebih baik aku lakukan selain ini,
maka ajarilah aku!”. Rasulpun bersabda, “ jika kau hendak mendirikan shalat
maka bertakbirlah…..”.[11]
Apakah diperbolehkan melafadzkan lafadz yang
lain selain Allohu Akbar yang masih menunjukan hal tersebut?
Pada permasalahan ini terdapat ikhtilaf
dikalangan fuqaha.
-
Hanafiyyah[12] menyebutkan bahwa
selama masih mengandung maksud yang sama yaitu ta’dhim lillah maka
diperbolehkan, seperti kalimat tahmid, tasbih, tahlil maupun dzikir yang
mengandung makna sifat serupa seperti Ar-Rahmanu A’dham dan lainya.
-
Abu Yusuf, ulama
Hanafiyyah berbeda pendapat. Ia mengatakan bahwa tidak diperbolehkan secara
syar’I kecuali dengan lafadz pecahan takbir sendiri. Lafadz pecahan tersebut
ialah الله أكبر - الله
الأكبر - الله الكبير.Hal ini ditujukan bagi seorang yang tak dapat membaca takbir.
-
Adapun Malikiyyah[14] dan Hanabilah[15] berpendapat bahwa
tidak diperbolehkan mengganti lafadz takbir الله أكبر dengan selainya, sebab ia adalah ibadah. Ibadah itu
bertawaqquf dengan sima’ dan tidak memperbolehkan adanya qiyas.
2.
Berdiri bagi yang mapu
Berdiri
ketika shalat merupakan hal yang wajib. Hal ini ditetapkan berdasarkan pada
firman Alloh ta’ala ﴿
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ ﴾[16]. Yang dimaksud qumu adalah berdiri ketika shalat. Dalam As-Sunnah disebutkan yang diriwayatkan
dari Imran bin Hushain ia berkata, kala itu aku sedang sakit ambeian. Kemudian aku menanyakan hal tersebut pada Rasul SAW., dan beliau bersabda
[17]“صلِّ قائمًا، فإن لم تستطع فقاعدًا، فإن لم تستطع فعلى جَنبٍ” yang artinya, “ Shalatlah kalian dengan berdiri….”.
Ijma’ juga mengatakan hal yang sama ketika shalat fardhu.
Ukuran qiyamnya seseorang yaitu dengan tegaknya
tulang punggung mereka tanpa tegaknya kepala, sebab kepala disunnahkan untuk
ditundukkan ketika shalat. Jika seseorang berdiri dengan posisi miring atau
condong kesalah satu bagian kanan atau kiri yang tidak dapat disebutkan dalam
kategori berdiri lurus maka tidak sah qiyam mereka sebab meninggalkan hal yang
wajib.
3.
Membaca surat
Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah merupakan rukun dari berbagai rukun shalat. Shalat salah
seseorang tidak sah tanpa membacanya. Hal ini sudah menjadi kesepakatan
diantara ulama dan tidak ada seorangpun yang menyelisihinya. Tidak dibedakan
antara shalat fardhu maupun nafl. Hal ini didasari dengan sabda Rasul SAW dalam
hadits yang menceritakan peristiwa orang yang jelek shalatnya setelah beliau
memerintahkanya untuk takbiratul ihram beliau bersabda, “((ثم اقرأ ما تيسَّر معك من القرآن))
yang artinya ,” kemudian bacalah apa yag mudah bagimu dari bagian Al-Qur’an”.
Yang menjadi khilaf dikalangan fuqaha yaitu seputar apa yang dibaca dalam mahiyah
shalat fardhu dan seputar tempat bacaan yang wajib dibaca tersebut.
-
Mahiyah Shalat.
Jumhur fuqaha dari kalangan madzhab Malikiyyah, Syafiiyyah[18]
dan Hanabilah pada riwayat masyhur dikalangan mereka bahwa membaca Al-Fatihah
merupakan rukun dalam shalat, ia merupakan kewajiban yang harus ditunaikan,
shalat seseorang tidak sah tanpanya. Hal ini berdasarkan dalil dari hadits yang
diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra., bahwa nabi SAW., bersabda, “لا صلاةَ
لمن لم يقرأ بفاتحةِ الكتاب[19]” yang artinya, “ tidak ada shalat bagi orang yang
tidak membaca fatihah kitab (surat Al-Fatihah)”. Begitu juga tersebut dalam
riwayat lain bahwa Rasululloh SAW bersabda “((مَن صلَّى صلاة لم يقرأ
فيها بأمِّ القرآن، فهي خِداج[20]” Barang siapa yang shalat tidak membaca surat
Al-Fatihah maka sia-sia. Khidaj disini yaitu kurang sempurna, batal bahkan rusak.
-
Hanafiyyah berpendapat bahwa yang diwajibkan ialah surat apa saja yang ada dalam
Al-qur’an, tanpa mensyaratkan Al-Fatihah. Kalaupun Al-Fatihah wajib menurut
mereka akan tetapi, mereka tidak menjadikanya sebagai rukun yang konsekuensi
dari hal tersebut ialah diperbolehkanya shalat tanpanya hanya saja mendapat
dosa. Sebab, wajib dalam madzhab Hanafi berbeda dengan fardhu. Bacaan
Al-Fatihah bukan termasuk rukun atau fardhunya sholat akan tetapi masuk pada
kategori yang diwajibkan dalam shalat, sebab madzhab Hanafi[21]
membedakan antara rukun atau fardhiyyah dengan hal yang wajib.
Dalil yang melandasi pendapat mereka yaitu ﴿ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ﴾ ayat dari surat Al-Mudatsir yangmereka berpendapat mengenai wajhul
istidlalnya yaitu bahwa yang diwajibkan adalah muthlaq qira’ah apa yang ada
dalam Al-Qur’an tanpa ada ketentuan. Adapun pendapat yang hanya menentukan
bacaan Al-Fatihah mereka telah menaskh kemutlakan ayat tersebut dengan khabar mutawatir,
sedang naskh kitab tidak diperbolehkan menurut Syafiiyah.
Pendapat Hanafiyyah menuai kritik dari jumhur, sebab penentuan Al-Fatihah
dikuatkan dengan bayak hadits yang diriwayatkan dari berbagai jalur.
Jadi, pendapat yang benar adalah pendapat yang dipegangi oleh jumhur. Pada hadits yang mencantumkan sabda Rasul pada orang yang masih salah
dalam shalatnya memang tidak disebutkan ketentuan bacaannya adalah Al-Fatihah
sebab itulah jika ada seseorang yang tidak dapat membaca Al-Fatihah maka dapat
diganti bacaan lain jika tidak memungkinkan untuk mempelajarinya terlebih
dahulu. Jika seoang tersebut tidak memiliki sesuatupun dari hafalan Al-qur’an
maka dapat digantikan dengan membaca سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر،
ولا حول ولا قوَّة إلا بالل.
Hal ini merupakan bentuk rukhsah, sebagaimana disebutkan dalam Nailul Authar[22] bahwa jika salah
seorang tidak mampu membaca Al-fatihah berarti ia tidak mendapat taklif sebab
ketidak mapuan tersebut, sebab kempuan seseorang untuk melaksanakan kewajiban
syariat merupakan syarat adanya taklif. Dalam masalah ini, maka tidak mengapa
mengganti bacaan Al-Fatihah dengan bacaan lain.
-
Tempat atau waktu membaca Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah diwajibkan disetiap
rekaat menurut jumhur seperti Malik, Imam Asy-Syafii, Ahmad dalam riwayat
shahih madzhabnya dan lainya. Dalil yang mereka pegangi yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh Qatadah dalam shahih Muslim bahwa nabi SAW., membaca surat
Al-Fatihah dan surat lainya pada 2 rekaat pertama, dan hanya membaca Al-Fatihah
pada 2 rekaat terakhir. Pada shahih tersebut juga disebutkan bahwa ketika
shalat diwajibkan membaca surat Al-Fatihah disetiap rekaatnya.[23]
Ulama
lain seperti dhahiry berpendapat bahwa wajibnya membaca Al-fatihah hanya pada
rekaat pertama saja, sebab hal itu telah memenuhi sabda Rasul yang berbunyi, “
tidak sah shalat salah seorang dari kalian tanpa membaca ummul kitab”.
Hukum membaca Al-Fatihah tanpa Bahasa arab
Shalat dengan bacaan Al-fatihah tanpa Bahasa Arab tidak diperbolehkan
menurut madzhab Maliki, Syafii[24] dan Hanbali. Imam Abu yusuf juga berpendapat demikian jika orang tersebut tidak dapat
melafadzkanya dengan Bahasa Arab. Jika seseorang tersebut tidak dapat
melafadzkanya dengan Bahasa Arab maka ia dapat mendengarkan bacaan orang lain,
membacanya, atau diganti dengan tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan dzikir
lainya. Hal ini pun dilakukan jika waktu shalat sudah benar-benar sempit
sehingga tidak ada waktu untuk menghafalnya terlebih dahulu. Jika pada nyatanya
seseorang memiliki waktu untuk mengahafal terlebih dahulu maka ia wajib
menghafalnya untuk shalat.
Menurut imam Abu Hanifah[25] sah sholat seseorang
yang membaca Al-Fatihah tanpa Bahasa Arab, seperti Bahasa Persia atau lainya. Hal tersebut berlaku bagi orang yang dapat membahasakan Arab
atau tidak.
4.
Ruku’
Ruku’ adalah gerakan membungkukkan badan dan
kepala dengan kedua tangan diluruskan ke lutut kaki. Dengan tidak mengangkat
kepala tapi juga tidak menekuknya. Juga dengan meuruskan punggungnya, sehingga
bila ada air dipunggungnya tidak bergerak karena kelurusan punggungya.
Perintah untuk melakukan ruku’ adalah firman Alloh SWT., “ Wahai oorang
yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah tuhanmu dan perbuatlah
kebaikan supaya kamu mendapat kemenangan.[26]
Dan juga hadits Rasul berikut ini. “ Dari Aisyah ra berkata, “ Aku
melihat beliau SAW., ketika ruku’ meletakkan tanganya pada lututnya.
(Muttafaq ‘Alaih).
Adapun Rasululloh SAW., bila ruku’ tidak mengangkat kepalanya dan juga tidak menekuknya. Tetapi diantara
keduanya.
Untuk mengetahui sahnya gerakan ruku’, posisi seperti ini harus terjadi
dalam beberapa saat. Tidak boleh hanya berupa gerakan dari berdiri ke ruku’
tapi langsung bangun lagi. Harus ada jeda waktu sejenak untuk berada pada ruku’
yang disebut dengan istilah thuma’ninah.
Perbedaan
ruku laki-laki dan perempuan terletak pada tanganya. Laki-lakinya melebarkan
tanganya atau merenggangkanya antara siku’ dengan perutnya. Sedangkan wanita
melakukan sebaliknya, mendekatkan tanganya ketubuhnya.[27]
5.
Sujud
Sujud secara bahasa terdapat beberapa
pengertian:
-
Al-Khudhu’ yang artinya bersungkur
-
At-Tazallul yaitu merendahkan diri badanya.
-
Al-Mailu yaitu mencondongkan badan kedepan.
Sedangkan secara syar’I, yang
dimaksud dengan sujud menurut jumhur ulama adalah meletakkan 7 anggota badan
ketanah, yaitu wajah, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung kedua tapak
kaki.
Pensyariatan sujud
Al-Qur’an Al-Karim memerintahkan kita untuk melakukan
sujud kepada Alloh SWt.,. Dasarnya yaitu hadits nabi “ Dari Ibnu Abbas ra.,
berkata, “Aku diperintahkan untuk sujud diatas 7 anggota. (Yaitu) wajah –beliau
menunjuk hidungnya-, kedua tangan, kedua lutut dan kedua tapak kaki.” (HR.
Bukhori dan Muslim).[28]
Manakah yang lebih dahulu diletakan, lutut atau
tangan?
Dalam
masalah ini ada dua dalil yang sama-sama kuat namun menunjukkan cara yang
berbeda. Sehingga hal ini menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Jumhur
ulama umumnyaa mengatakan bahwa yang disunnahkan ketika sujud adalah meletakkan
kedua lutut terlebih dahulu, baru kemudian kedua tangan lalu wajah.Dan ketika
bangun dari sujud berlaku sebaliknya, yang diangkat adaah wajah dulu, kemudian
kedua tangan baru terakhir lutut. Dasar dari praktek ini adalah hadits Rasul
yang berarti, “ Dari Wail Ibnu Hujr berkata, “ Aku melihat Rasul Saw., bila
sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tanganya. Dan bila bangun dari
sujud beliau mengangkat tanganya sebelum mengangkat kedua lututnya.” (HR.
Khamsah kecuali Ahmad).
Namun, Al-Malikiyyah berpendapat sebaliknya.
Menurut Malikiyyah yang disunnahkan untuk diletakkan terlebih dahulu adalah
kedua tangan baru kemudian kedua lututnya. Dalil mereka dalam artinya yaitu “
Dari Abu Hurairah ra., berkata bahwa Rasululloh Saw., bersabda, “ Bila kamu
sujud janganlah seperti duduknya unta. Hendaklah kamu letakkan kedua tanganmu
terlebih dahulu baru kedua lutut.” (HR. Abu Daud, Nasai, Ahmad dan Tirmidzi).
Ibnu Sayid Nas berkata bahwa hadits yang
menyebutkan tentang meletakkan tangan terlebih dahulu lebih kuat. Namun Al-Khoththobi
mengatakan bahwa hadits ini lemah dari hadits yang sebelumnya. Demikianlah,
para ulama berbeda pendapat tentang mana yang sebaiknya didahulukan ketika
melakukan sujud. Dan Imam Nawawi berkata bahwa diantara keduanya tidak ada yang
lebih rajih. Artinya, menurut beliau keduanya sama-sama kuat dan sama-sama bisa
dipraktekkan.
6.
Duduk tasyahud akhir
Tasyahud akhir merupakan suatu yang ma’lum bagi kita semua. Dalam
tasyahud akhir terdapat sebuah bacaan yang kita kenal sebagai bacaan tasyahud
atau lebih masyhur dengan nama tahiyyat. Tahiyyat yang masyhur digunakan oleh Jumhur yaitu “التحيات
لله الصلوات والطيبة، السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته،السلام علينا وعلى
عبادالله الصالحين ، أشهد أن لا إله إلاّ الله وأنّ محمداً رسولالله [29]"
Bacaan tasyahud ada berberapa pendapat.
Pendapat pertama yaitu pendapat jumhur ulama dari madzhab Hanafi[30]
dan Hanbali serta ada kemiripan pada madzhab Maliki. Sedangkan pada madzhab
Syafii mereka menggunakan bentuk yang kedua yaitu “Allohumma shalli ‘ala
Muhammad”.
Duduk tasyahud akhir merupakan rukun shalat
menurut jumhur ulamatermasuk madzhab Hanafiy[31].
Jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk untuk tasyahud akhir adalah duduk
tawarruk. Posisinya hampir sama dengan duduk iftirasyi namun posisi kaki
kiri tidak diduduki melainkan dikeluarkan kearah bawah kaki kanan. Sehingga duduknya diatas tanah
tidak lagi diatas lipatan kaki kiri seperti pada duduk iftirasyi.
Asy-Syafiiyyah dan Hanabilah sama-sama
berpendapat bahwa untuk duduk tasyahud akhir, yang disunnahkan adalah duduk
tawarruk.
Menurut Hanafiyyah, posisi duduk tasyahud akhir sama dengan
posisi duduk diantara dua sujud, yaitu duduk iftirasyi. Dalilnya yaitu hadits
berikut:
“ Dari Wail Ibnu Hajar, “ Aku datang ke
Madinah untuk melihat sholat Rasululloh SAW.,. Ketika beliau duduk tasyahud,
beliau duduk iftirasyi dan meletakkan tangan kirinya diatas paha kirinya dan
menasabkanya kakinya yang kanan.” (HR. At-Tirmidzi)[32]
Adapun malikiyyah sebagaimana diterangkan
didalam kitab Asy-Syarhu Shaghir menyunahkan untuk duduk tawarruk baik
padatasyahud awal maupun tasyahud akhir. Dalilnya adalah hadits nabi: Dari Ibnu
Mas’ud berkata bahwa Rasululloh SAW., duduk ditengah sholat dan akhirnya dengan
duduk tawarruk.
D.
Rukun Shalat yang Diperselisihkan
1.
Niat yang berbarengan dengan takbiratul ihram
Menjadikan
niat sebagai syarat sah shalat sudah
menjadi sebuah kesepakatan dikalangan ulama. Hal ini dikarenakan bahwa shalat
merupakan ra’sun (puncak, kepala) dari berbagai bentuk ibadah yang telah
disyariatkan oleh Alloh dengan maslahat yang tak dapat kita lihat dengan mata
telanjang.
Adapun dalam
menentukan apakah niat masuk dalam kategori rukun atau syarat ulama berbeda
pendapat.
Ø Menurut
Madzhab Hanafi
Niat dalam shalat termasuk pada kategori syarat.[33] Mereka mengatakan
bahwa rukun merupakan gerakan atau amalan dhahir, sedangkan amalan batin
termasuk kategori syarat.
Ø Menurut
Madzhab Syafi’i:
Niat dalam shalat menurut madzhab Syafi’I masuk dalam kategori rukun. Imam
Nawawi dalam kitabnya Syarh al-Muhadzab[34] menyebutkan bahwa
niat merupakan suatu hal wajib bahkan kewajiban tersebut mencapai derajat
fardhu. Niat merupakan rukun dari berbagai rukun shalat. Pendapat ini dilandasi
dengan hadits nabi yang berbunyi, “ إنما الأعمال
بالنيات، و إنما [35] لكلَ
امرئ ما نوى”[36] yang artinya
sesungguhnya segala bentuk perbuatan itu harus dengan niat, dan setiap orang
itu dinilai berdasarkan pada niatnya.
Beliau menambahkan bahwa niat ialah bentuk qurbah (kedekatan pada Alloh)
yang bersifat mahdhah[37] sehingga jika
amalan dikerjakan tanpanya menjadi tidak sah.
Ibnu Mundzir menyebutkan dalam kitabnya bahwa ulama telah berijma’ bahwa
shalat seseorang tidak sah kecuali harus disertai niat.
Dalam riwayat lain madzhab Syafi’I menyebutkan bahwa niat dalam shalat
merupakan syarat bukan rukun sebagaimana kedudukan wudhu dan menghadap kiblat.
Ulama yang melazimi pendapat ini ialah imam Abu Thayib, Ibnu Shibagh, dan juga
merupakan pendapat yang dpilih oleh imam Al-ghazali.
Hukum melafadzkan niat menurut madzhab Syafi’i.
Menurut sebagian ulama madzhab mengatakan bahwa niatshalat harus dalam
hatidan dilafadzkan pada lisan.
Waktu
pelaksanaan niat, Imam
asy-Syafi’I menyebutkan dalam kitabnya Al-Mukhtashar bahwa jika salah seorang
dari kalian telah ihram (takbir) niatlah pada waktu itu, sebab shalatnya
terletak pada saat takbir bukan sebelum atau sesudahnya. Niat dilaksanakan beriringan dengan pengucapan takbir. Dalam hal
ini ulama Syafiiyyah mensyaratkan hal tersebut sebagai berikut:
Ø Niat
dilakukan dalam hati, dengan melakukan takbir pula pada saat yang sama.
Ø Tidak wajib dilakukan
bersamaan dengan takbir. Hal ini dikarenakan supaya pada saat takbir niat yang
kita kerjakan sudah sempurna. Pendapat ini terbagi menjadi dua.
a.
Pendapat Ibnu Manshur bin Mihran Syeikh Abu
Bakr al-Awdani, beliau mewajibkan supaya lebih mendahulukan niat dari awal
takbir dengan suatu hal yang ringan supaya awal niat tidak tertinggal dari awal
takbir.
b.
Yang dimaksud dengan berdekatan yaitu pada
saat takbir niat selalu mengiringinya hingga akhir takbir.
Sebagai jalan
tengah, Imam al-Haramain dan imam
al-Ghazali menyebutkan dalam kitabnya al-Basith bahwa dalam masalah ini
kita tidak diwajibkan untuk memperdalam bagaimana muqaranah yang dimaksud. Akan
tetapi kita cukup mengikuti urf muqaranah yang ada dan yang umum dipraktekan,
dengan syarat kita dapat menghadirkan niat kita dan tidak melalaikanya dari
shalat.
Menta’yin
(menentukan) shalat. Imam Nawawi[38]
berpendapat bahwa disyaratkan menentukan shalat dalam niat hanya terjadi pada
shalat fardhu. Kaifiyahnya yaitu seseorang menentukan shalat yang akan ia
kerjakan apakah shalat dhuhur atau asar, wajaib atau nafl. Hanya saja pada
ketentuan wajib atau nafl ulama berbeda pendapat. Abu Ishaq berpendapat wajib
guna membedakan antara dhuhurnya anak kecil atau orang deawasa. Dhuhurnya
shalat munfaridh atau jama’ah.
Adapun menurut
Abu Ula dari Abu Hurairah: Ia cukup meniatkan dhuhur atau asar saja, sebab
keduanya jelas shalat wajib.
Kesimpulanya,
jika salah seorang hendak shalat fardhu maka hendaknya ia meniatkan 2 hal
terpenting[39]:
a.
Niat perbuatanya, maksudnya yaitu niat akan
shalat.
b.
Menentukan jenis shalatnya, maksudnya yaitu
shalat dhuhur atau asar.
Begitu juga
dalam shalat nafilah. Apabila yang dikerjakan adalah sholat nafl ratibah
atau nafl mutlaq seperti shalat
witir, sunnah fajar maka tidak sah jika tidak ditentukan jenisnya. Sedang pada
shalat nafl ghair ratibah cukup dengan niat shalat saja.
Ø Menurut
Madzhab Hanbali
Tidak ada
perbedaan dikalangan ulama mengenai wajibnya niat dalam shalat dan shalat tidak
sah tanpa niat. Apabila shalat yang
dilakukan adalah shalat wajib, maka niat untuk shalat yang wajib tersebut harus
jelas, Dhuhur, Asar atau yang lainya. Dengan demikian seseorang dalam kaitanya
dengan shalat wajib membutuhkan niat untuk 2 hal, yaitu melakukan dan menentukan.[40]
2.
I’tidal
I’tidal
merupakan gerakan shalat berupa tegaknya tubuh yang dilakukan usai melaksanakan ruku’. Para
ulama berbeda pendapat apakah I’tidal termasuk dalam rukun atau hanya sebagai
gerakan yang wajib dilakukan saja sehingga yang meninggalkanya berdosa tanpa
ada batal dalam shalat atau ia adalah rukun sehingga sholat seseorang tidak sah
tanpa salah satu rukunya dan jika terlupa mengharuskan adanya sujud sahwi.
Menurut madzhab Hanafy I’tidal merupakan bagian sholat dalam kategori hal
yang wajib dikerjakan dalam shalat bukan rukun shalat.[41]
Namun,
sebagian ulama madzhab ini seperti abu Yusuf dan yang lain mengatakan bahwa
i’tidal adalah rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Menurut mereka jika
seseorang shalat tanpa i’tidal maka shalatnya batal dan tidak sah.
Adapun pada madzhab Syafi’I I’tidal merupakan rukun shalat.[42] Pendapat imam Asy-Syafi’i juga diamini oleh
imam Malik[43]
dan Ahmad[44]
dalam madzhabnya sebagaimana yang tertera dalam kitab Al-Mughni bahwa i’tidal
merupakan sebuah rukun dengan dalil sabda Rasululloh pada orang yang masih
keliru dalam shalatnya. Dalil adanya I’tidal yaitu hadits yang diriwayatkan
dari Aisyah ra., ketika dirinya
menyifati sholat nabi ia berkata, “ Rasul SAW.,
ketika telah mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau tidak bsersujud kecuali
setelah tubuhnya benar-benar dalam posisi berdiri yang seimbang”.[45]
Alasan lain yang dilazimi pendapat ini yaitu bahwa rasululloh SAW., selalu
beri’tidal ketika sholat dan kita sebagai umatnya wajib mengikuti gerakan
Rasululloh sebagaimana termaktub dalam sebuah hadits, “ sholatlah kalian
sebagaimana kalian melihatku sholat”.
Madzhab Syafii mensyaratkan sahnya I’tidal
dengan hal-hal berikut:
-
Seorang
yang shalat tidak meniatkan I’tidal tersebut kecuali untuk ibadah.
-
Tenang
ketika posisi I’tidal dengan kadar waktu membaca tasbih
-
Tidak
memperpanjang I’tidalnya sebagaimana lamanya berdiri ketika membaca Al-fatihah.
I’tidal merupakan rukun yang rentang waktunya pendek sehingga tidak
diperbolehkan memperpanjangnya.[46]
3.
Duduk diantara dua sujud
Duduk diantara
dua sujud merupakan rangkaian dari berbagai rukun sholat menurut madzhab
Syafi’i[47].
Pendapat ini didasari dengan sabda nabi kepada seseorang yang masih keliru
dalam sholatnya, beliau bersabda, “ kemudian bangkitlah sampai kau
benar-benar pada kondisi duduk yang seimbang”.[48]
Dalam sebuah riwayat juga disebutkan, “حَتّى
تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَالِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِهَا”. Yang artinya “sampai kamu benar-benar tenang dalam posisi
duduk, dan lakukanlah hal seperti itu pada setiap sholatmu”. Pendapat seperti
ini juga diamini oleh madzhab Hanbali[49], dan Maliki.[50] Adapun madzhab
Hanafy[51] mengatakan bahwa
duduk diantara dua sujud merupakan suatu yang wajib, disayariatkan untuk
memisahkan antara 2 sujud tersebut. Mereka tidak menganggapnya sebagai suatu
yang farhu atau sebagai rukun sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya
mengenai perbedaan farhu atau rukun dengan wajib pada madzhab Hanafy.
Posisi
duduknya adalah duduk iftirasyi[52],
yaitu dengan duduk melipat kaki kebelakang dan bertumpu pada kaki kiri.
Maksudnya kaki kiri yang dilipat diduduki, sedangkan kaki yang kanan dilipat
tidak diduduki namun jari-jarinya ditekuk sehingga menghadap kiblat. Posisi
kedua tangan diletakkan pada kedua paha dekat dengan lutut dengan menjulurkan
jari-jarinya.
4.
Membaca tasyahud dan shalawat nabi
Membaca
shalawat nabi dalam sholat merupakan pondasi shalat yang menjadi perselisihan
dikalangan ulama. Hal ini dipacu oleh perbedaan istidlal atas suatu nash maupun
ketiadaanya. Para fuqaha dari madzhab Syafii, Maliki dan Hanbali berpendapat
bahwa membaca tasyahud dalam shalat adalah sebuah fardhu atau rukun. Perbedaan
yang terjadi dikalangan mereka hanya sekadar miqdar atau ukuran lafadz tasyahud
yang digunakan.
Asy-Syafii[53]
mengatakan dalam kitabnya Al-Umm, bahwa bacaan tasyahud yang paling baik yaitu “
At-Tahiyyatu as-Shalawatu At-Thayyibatu lillah, As-Salamu ‘alaika ayyhuha
an-nabiyyu warahmatulloh wabarakatuhu. Salamun ‘alaina wa’ala ‘ibadillahi
as-shalihin. Asyhadu an laa ilaha illalloh, wa asyhadu anna muhammada
rasululloh”.Beliau menambahkan bahwa bacaan tersebut adalah bacaan paling
baik sebab beliau mengahruskan adanya bacaan tasyahud dengan bacaan sholawat.[54]
Berbeda dengan madzhab lainya. Madzhab
Hanafi[55]
berpendapat bahwa bacaan atau doa tasyahud hanyalah sebuah kewajiban yang harus
dilaksanakan dalam sholat.
5.
Salam
Ada dua salam dalam
shalat, yaitu salam pertama dan salam kedua. Salam pertama adalah fardhu
menurut para fuqaha, seperti Malikiyyah dan Syafiiyyah. Sedangkan salam yang
kedua adalah sunnah menurut kedua madzhab tersebut.
Namun, berbeda halnya
dengan Hanabilah yang berpendapat bahwa kedua salam tersebut hukumnya fardhu,
kecuali pada shalat jenazah, shalat nafilah, sujud tilawah dan sujud syukur.
Pada keempat perbuatan tersebut yang hukumnya fardhu hanya pada salam pertama saja.[56]
6.
Tertib
Tartib yang
dimaksudkan disini yaitu urut dalam pelaksanaanya. Artinya, semua rukun-rukun
shalat yang dijelaskan dimuka dijalankan tidak secara acak-acakan, melainkan
yang satu harus didahulukan dari yang lain sebagaimana semestinya.
Dengan demikian, bila urutanya tidak
teratur sesuai dengan mestinya atau apa yang telah ditetapkan, maka ibadah
itupun menjadi tidak sah juga.
7.
Tuma’ninah
Menurut jumhur ulama seperti Al-Malikiyyah,
Syafiiyah dan Hanabilah, thuma’ninah merupakan rukun shalat, yaitu pada gerakan
ruku’, i’tidal, sujud dan duduk diantara dua sujud.
Thuma’ninah yaitu kondisi dimana seseorang
tegap dan benar-benar pada kondisi yang seharusnya atau telah sempurna gerakan
sholatnya. Dalil akan keharusan seseorang thuma’ninah dalam sholat yaitu sebuah riwayat dari Hudzaifah ra., bahwa ia melihat seseorang yang
tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Ketika telah selesai dari shalatnya
beliau memanggil orang tersebut dan berkata kepadanya, “ Kamu belum shalat,
bila kamu mati maka kau mati tidak diatas fitrah yang telah Alloh tetapkan
risalah nabi diatasnya.” (HR. Bukhori).
E.
Kesimpulan
Rukun shalat, perkara
urgent yang harus diketahui setiap muslim. Banyaknya perbedaan hanyalah rahmat
yang Alloh anugerahkan pada kita. Semua pendapat memiliki landasan sendiri yang
patut kita hormati.
Pada makalah yang
sederhana ini penulis hanya melakukan
komparasi antar madzhab sehingga tidak banyak melakukan tarjih dari berbagai
pendapat tersebut.
Berikut ini kami
lampiran tabel perbandingan dari ke-4 mazhab tentang rukun shalat yang kami
kutip dari kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili.
Mazhab
|
Hanafi
|
Malik
|
Syafi`i
|
Ahmad
|
1. Niat
|
X
|
Rukun
|
rukun
|
x
|
2.
Takbiratul Ihram
|
Rukun
|
Rukun
|
rukun
|
Rukun
|
3.
Berdiri
|
Rukun
|
Rukun
|
rukun
|
Rukun
|
4.
Membaca
|
Rukun
|
Rukun
|
rukun
|
Rukun
|
5. Ruku`
|
Rukun
|
Rukun
|
rukun
|
Rukun
|
6.
I`tidal/ Bangun Dari Ruku`
|
X
|
Rukun
|
rukun
|
Rukun
|
7. Sujud
|
Rukun
|
Rukun
|
rukun
|
Rukun
|
8. Duduk
Antara Dua Sujud
|
X
|
Rukun
|
rukun
|
Rukun
|
9. Duduk
Tasyahhud Akhir
|
Rukun
|
Rukun
|
rukun
|
Rukun
|
10.
Membaca Tasyahhud Akhir
|
X
|
Rukun
|
rukun
|
Rukun
|
11.
Membaca Shalawat Atas Nabi
|
X
|
Rukun
|
rukun
|
Rukun
|
12. Salam
|
X
|
Rukun
|
rukun
|
Rukun
|
13.
Tartib
|
X
|
Rukun
|
rukun
|
Rukun
|
14.
Tuma`ninah
|
X
|
Rukun
|
x
|
Rukun
|
Demikianlah yang dapat penulis paparkan dalam
makalah ini. Bila banyak salah dalam kata dan penulisan mohon maklumatnya,
sebab keterbatasan pada dii penulis baik keterbatasan pikiran, waktu dan
usaha.Kritik dan saran yang membangun penulis terima dengan senang hati. Wallohu
Ta’ala A’lam.
Daftar Pustaka
Al-Quran Al-Karim
Basyir, Abi Thahir Aba Ibrahim bin
‘Abdushamad bin, At-Tanbih ‘ala
Mabadi’ At-Taujih, cet. pertama, (Lebanon: Dar Ibnu Hazm, 2007 M ), jild. 1
Dardir, Ad; Ahmad bin Muhammad nin Ahmad, Aqrabu
al-Masalik Limadzhabi Imam Malik, (Negeria: Maktabah Ayyub, 2000 M).
Hadi, Abu Suraih Muhammad ‘Abdul, At-Taysir
fi Fiqhi al-Imam Ibnu Taimiyah,(Kairo: Dar adz-Dzahabiyyah, tt)
Hanafi, al; Muhammad bin Ali bin
Muhammad bin Ali bin Abdurrahman, Ad-Dur al-Mukhtar, (Lebanon: Dar Kutub
Ilmiyyah, 2006 M), jild. 1
Hanafy, al; Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasany, Badai’ Shanai fi Tartib
Asy-Syarai’, cet. Kedua, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2003 M), jild. 1
Hanafy, al; Badruddin Al-Ainy, Al-Binayah
Syarhul Hidayah, (Lebanon: Dar Kutub
Ilmiyyah, 2000 M), jild. 2
Hanafy, al; Kamaluddin Muhammad bin
Abdul Wahid As-Saywasi Ibnul Hammam, Fathul Qadir,cet. Pertama, ( Mesir:
Al-Kubra Al-Amiriyyah, 1315 H), jild.1
Jazairy, al; Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Madzahib
al-Arba’ah, cet. Ketiga,
Khin, Musthafa dan
Mushtafa Bugha, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Imam Syafi’I, cet.
Keempat, (Lebanon: Dar Al-Qalam, 1992 M),
jild. 1
Khiraqy, al; Abu Qasim Umar bin Husain, Al-Mughni Syarh
Mukhtashar Al-Khiraqi, cet. pertama, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2008 M),
jild. 1
Madkur, Ibrahim, Mu’jam wasith,
(tt; tp; tt), hlm. 395
Mu’jam Mushtalahat al-Fiqhiyyah
Nawawi, An; Taqiyuddin Yahya bin Syaraf, Majmu’ Syarh
al-Muhadzab, (Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2011), jild. 4
Nisaburi, an; Abu Husain
Muslim bin Al-Qusyairi, Shahih Muslim, ( Riyadh: Dar Thaibah, 1426 H),
Jild. 2
Qudamah , Ibnu, Al-Mughni,
cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), terjemah oleh. Masturi Ir
Nisaburi, an; Abu Husain Muslim bin Al-Qusyairi, Shahih Muslim, ( Riyadh: Dar
Thaibah, 1426 H), Jild. 2
Samarqandy, As; ‘Alauddin, Tuhfatul Fuqaha,cet. Pertama, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 1984 M), jild.1
Sarwat, Ahmad, Kitab Sholat,
(ttp: tp, tt ), jild.1 , hlm. 62
Saurah , Abu ‘Isa Muhammad
bi ‘Isa bin, Sunan at-Tirmidzi, ( Lebanon: Dar al-Fikr, 2009 M). jild. 1, hlm. 272, no hadits. 62
Syafi’I, asy; Muhammad bin Idris,
Al-Umm, cet. Pertama, (Lebanon: Dar Al-Fikr, 2009 M), jild. 1
Syafi’I, asy; Taqiyuddi Abi Bakr
bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy, Kifayatul Akhya fi Halli
Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo: Al-Quds, 2007 M), jild. 1
Syaukani, Asy; Muhammad bin Ali, Nailul Authar, cet.
pertama, (Kairo: Dar Ibnu Al-Jauzi, 1427 H), jild. 2
Sragen, 8
Maret 2016
[2] Ibid, hlm. 547
[4] ManshurAr-Rifa’i Ubaid, Al-‘Ibadah fi Fiqhi Al-Islam, cet.
Pertama, (Kairo: Dar Tsaqafiyyah, 2001 M), hlm. 169
[5] Mahmud Muhammad Thanthawi, Ushul
Fiqhi Al-Islami, cet. Ketiga, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001 M), hlm. 56
[6] Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqh
‘ala Madzahib al-Arba’ah, cet. Ketiga, ( Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2006
M), jild. 1, hlm. 110-111.
[9] Bukhori,
[10] Dikeluarkan dari hadits Imam Syafi’i (1/34), Ibnu Abi Syaibah (1/208,
no. 2378), Ahmad (1/123, no. 1006), Abu Daud (1/167, no. 617), Tirmidzi (1/8,
no. 3), ia mengatakan bahwa hadits diatas adalah hadits yang paling shahih yang
membicarakan masalah ini (takbir).
Abu ‘Isa Muhammad bi ‘Isa bin Saurah, Sunan
at-Tirmidzi, ( Lebanon: Dar al-Fikr, 2009 M). jild. 1, hlm. 272, no hadits.
62
[11] Muttafaq ‘alaih
[12] Badruddin Al-Ainy
al-hanafy, Al-Binayah Syarhul Hidayah, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah,
2000 M), jild. 2, hlm. 197
[13]Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy
ay-Syafi’I, Kifayatul Akhya fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo:
Al-Quds, 2007 M), jild. 1,hlm. 167
[14] Ahmad bin Muhammad nin
Ahmad Ad-Dardir, Aqrabu al-Masalik Limadzhabi Imam Malik, (Negeria:
Maktabah Ayyub, 2000 M ), hlm. 15.
[15] Abu Qasim Umar bin Husain al-Khiraqy, Al-Mughni Syarh Mukhtashar
Al-Khiraqi, cet. pertama, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2008 M), jild. 1,
hlm. 370
[16] Qs. Al-baqarah: 238
[17] Diriwayatkan oleh Bukhori dan Nasai
[18] Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy
ay-Syafi’I, Kifayatul Akhya fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo:
Al-Quds, 2007 M), jild. 1, hlm. 169
[19] Muttafaq ‘alaih
[20] Muttafaq ‘alaih
[21] Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasany Al-Hanafy, Badai’ Shanai’,
cet. Kedua, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2003 M), jild. 1, hlm. 525
[22] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nailul Authar, cet. pertama, (Kairo:
Dar Ibnu Al-Jauzi, 1427 H), jild. 2, hlm. 211
[23] Abu Husain Muslim bin
Al-Qusyairi an-Nisaburi, Shahih Muslim, ( Riyadh: Dar Thaibah, 1426 H), Jild.
2, hlm. 184
[24] Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy
ay-Syafi’I, Kifayatul Akhyar fi Halli
Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo: Al-Quds, 2007 M), jild. 1, hlm 171.
[25]‘Alauddin As-Samarqandy, Tuhfatul
Fuqaha,cet. Pertama, (Lebanon:
Dar Kutub Ilmiyyah, 1984 M), jild. 1, hlm. 130
[26] QS. Al-Hajj: 77
[27] Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi Ibnul Hammam Al-Hanafy,Fathul
Qadir,cet. Pertama, ( Mesir: Al-Kubra Al-Amiriyyah, 1315 H), jild.1, hlm.
193-208 dan Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Al-Hanafy, Ad-Dur
al-Mukhtar, cet. Pertama, (Dar Kutub Ilmiyyah, 2002 M), jild. 1, hlm. 416
[30] Al-Wajiz fi Fiqhi islam, hlm.
[32] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nailul Authar, hlm. 273
[33]Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasany
Al-Hanafy, Badai’ Shanai fi Tartib Asy-Syarai’, cet. Kedua, (Lebanon:
Dar Kutub Ilmiyyah, 2003 M), jild. 1, hlm. 507
[34] Taqiyuddin Yahya bin Syaraf An; Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab,
(Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2011).jild. 4, hlm. 256
[36] Bukhori
[37] Qurbah Mahdhah yaitu shalat seseorang tidak sah tanpa adanya.
[38] Taqiyuddin Yahya bin Syaraf An; Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab,
(Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2011).jild. 4, hlm. 258
[39] Ibid, hlm. 260
[40] Ibnu Qudamah, Al-Mughni,
cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), terjemah oleh. Masturi Irham dan
Muhammad Abidun Zuhri, jild. 2, hlm.13
[41] Muhammad bin Ali bin Muhammad
bin Ali bin Abdurrahman Al-Hanafy, Ad-Dur al-Mukhtar, hlm. 64
[42] Musthafa Khin dan
Mushtafa Bugha, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Imam Syafi’I, cet.
Keempat, (Lebanon: Dar Al-Qalam, 1992 M),
jild. 1, hlm. 134
[43] Abi Thahir Aba Ibrahim bin ‘Abdushamad bin Basyir, At-Tanbih ‘ala Mabadi’ At-Taujih, cet. pertama,
(Lebanon: Dar Ibnu Hazm, 2007 M ), jild. 1, Hlm. 415
[44] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jild. 2, hlm. 185
[45]Muslim, no. 498
[46] Musthafa Khin dan Mushtafa Bugha, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab
Imam Syafi’I, jild. 1, hlm. 134-135
[47] Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy
ay-Syafi’I, Kifayatul Akhya fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo:
Al-Quds, 2007 M), jild. 1, hlm. 162
[48] Telah ditakhrij sebelumnya.
[49] Abu Suraih Muhammad ‘Abdul Hadi, At-Taysir fi Fiqhi al-Imam Ibnu
Taimiyah,(Kairo: Dar adz-Dzahabiyyah, tt) hlm. 29.
[50]Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ad-Dardir,
Aqrabu Masalik limadzhabi Imam Malik, (Negeria: Maktabah Ayyub, 2000 M), hlm. 16
[51] Alauddin As-Samarqandy,
Tuhfatul Fuqaha,cet. Pertama, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah,
1984 M), jild. 1, hlm. 136
[52] Ahmad Sarwat, Kitab Sholat, (ttp: tp, tt ), jild.1 , hlm. 62
[53] Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, cet. Pertama, (Lebanon:
Dar Al-Fikr, 2009 M), jild. 1, hlm. 134
[54] Ibid, hlm. 135
[55] Muhammad bin Ali bin Muhammad
bin Ali bin Abdurrahman Al-Hanafy, Ad-Dur al-Mukhtar, (Lebanon: Dar
Kutub Ilmiyyah, 2006 M), jild. 1, hlm. 68
[56] mughni jild.1, hlm. 177, kasyaf
qina 1/ 454
ahsanti ya ukhti:)
BalasHapusjazakumullah khoir ukhti
BalasHapus